Kekuatan Media Massa dalam Membentuk Opini Umum
Kekuatan Media Massa dalam Membentuk Opini Umum

Kekuatan Media Massa dalam Membentuk Opini Umum

Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya publik. Begitu hebatnya pers, seandainya siang dikatakan pers malam pun, masyarakat akan mempercayainya



“Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu hebatnya pers, sehingga seandainya siang dikatakan pers malam pun, masyarakat (terutama yang lugu) akan mempercayainya.” (KH. Mustofa Bisri)

Stuart Hall berpendapat bahwa media massa merupakan sarana paling penting dari kapitalisme abad ke-20 untuk memelihara hegemoni ideologis. Media massa juga menyediakan kerangka berpikir bagi berkembangnya budaya massa melalui usaha kelompok dominan yang terus-menerus berusaha mempertahankan, melembagakan, melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkan, dan meniadakan potensi tandingan dari pihak-pihak yang dikuasai.

Guru Besar Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia, Harsono Suwardi, menjelaskan empat faktor yang membuat media massa memiliki pengaruh yang begitu kuat dalam kehidupan politik.

1. Media massa memiliki daya jangkau yang luas dalam menyebarkan informasi politik, bahkan mampu melewati batas wilayah, kelompok umur, jenis kelamin, dan status sosial-ekonomi. Dengan demikian, status politik yang dimediasikan akan menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan.

2. Media massa memiliki kemampuan untuk melipatgandakan pesan yang begitu mengagumkan. Dilipatgandakan atau tidaknya pesan memiliki korelasi yang begitu erat dengan respons masyarakat terhadap isu tersebut. Apabila responnya positif, kecenderungan media massa akan melipatgandakan isu tersebut. Dampak pelipatgandaan ini tentu sangat besar di tengah masyarakat.

3. Setiap media dapat mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing. Media massa memiliki kebijakan redaksional terkait isi peristiwa politik yang ingin disampaikan. Kebijakan ini membuat media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya, begitu juga sebaliknya.

4. Media massa memiliki fungsi agenda setting. Media massa memiliki hak untuk menyiarkan suatu peristiwa atau tidak menyiarkannya. Sehingga media massa mampu menggiring opini publik dalam suatu diskusi. Output dari diskusi inilah yang akan menentukan agenda-agenda dalam politik pemerintahan.

5. Pemberitaan peristiwa oleh suatu media kecenderungannya akan berkaitan dengan media lainnya, sehingga terbentuk suatu rantai informasi yang menambah kekuatan media massa dalam menyebarkan informasi politik dan mampu memperbesar dampak yang diberikan kepada publik.

Peran opini publik terhadap pola pikir, pola sikap, dan perilaku masyarakat tidak ada yang meragukan. Seharusnya, kaum Muslim menjadi kelompok yang menyadari hal ini dan secara aktif melakukan penggalangan opini yang sehat dan tidak menyesatkan.

Untuk menyikapi opini umum yang dilancarkan media sekuler, maka umat Islam perlu melakukan dua hal, (1) melakukan konter balik terhadap berbagai isu dengan memberikan penjelasan secara serius dan sungguh-sungguh, (2) upaya yang dilakukan hendaknya tidak terbatas pada upaya konter balik, atau hanya sekedar respon terhadap isu yang muncul, namun perlu upaya untuk membentuk ‘opini tandingan’ atau ‘opini alternatif’ agar massa yang merupakan ‘pemilik sebenarnya’ dari media itu mempunyai alternatif penjelasan terhadap situasi yang terjadi.

Media Massa dalam Naungan Negara Khilafah

Media massa (wasâ’il al-i’lâm) bagi negara khilafah dan kepentingan dakwah Islam mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda’ al-islâmi) baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islami yang kokoh. Di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia.

Febrianti Abassuni, dalam seminar tentang sistem pers di Indonesia yang berlangsung di University Center UGM, menyatakan bahwa dalam sistem pers negara khilafah, lembaga penerangan negara berfungsi sebagai lembaga nonprofit, wadah sosialisasi kebijakan negara, edukator warga negara, dakwah Islam ke luar negeri hingga propaganda politik ke luar negeri. Sedangkan lembaga pers swasta berfungsi sebagai penyebar informasi, pendidikan, hiburan, kontrol Islam atau dalam istilah Islam amar ma’ruf nahi munkar dan bisa juga berfungsi sebagai lembaga profit atau ekonomi.

Dalam kitab Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah (Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Khilafah) dijelaskan bahwa keberadaan suatu media massa tidaklah memerlukan izin (tarkhîs) dari negara, tetapi cukup menyampaikan pemberitahuan kepada Departemen Penerangan. Pasal ini juga menerangkan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap segala isi media, yaitu pemimpin redaksi.

Khilafah menjamin adanya hak untuk menyampaikan suatu informasi kepada publik secara terbuka melalui media massa. Namun, hak ini diatur dengan sejumlah kewajiban dan syarat tertentu. Orang yang mau menerbitkan majalah atau mendirikan stasiun TV dan radio, misalnya, memang tidak disyaratkan meminta izin (tarkhîs) kepada negara, karena izin sudah diperoleh secara langsung dari syariah.

Dia hanya diwajibkan menyampaikan pemberitahuan (i’lâm) kepada institusi negara yang terkait. Pemberitahuan ini hanya berupa sejumlah penjelasan yaitu tentang:

(1) jenis media massa, alamatnya, dan bahasa yang akan digunakan;
(2) nama pemilik media, kewarganegaraan, dan alamatnya;
(3) nama pemimpin redaksi, kewarganegaraan dan alamatnya. Pemilik media dan pemimpin redaksi ini haruslah warga negara khilafah. Sebab, kewarganegaraan (tâbi’iyah) itulah yang melahirkan hak dan kewajiban sebagai warga negara, termasuk hak menerbitkan media massa.

Jika kemudian hak ini disalahgunakan untuk menyebarkan ide bathil seperti nasionalisme dan demokrasi, maka yang bertanggung jawab terhadap seluruh isi media adalah pemimpin redaksi dan wartawan atau penulis artikelnya secara langsung.

Jadi, wartawan kedudukannya sama dengan warga negara lain. Jika memang bersalah maka ia harus diadili dan dihukum. Tidak diistimewakan atau mempunyai privilege tertentu yang membuatnya berbeda dengan warga negara biasa. Ini sangat berbeda dengan wartawan Barat, yang sering tidak mau bertanggung jawab dengan dalih ‘kebebasan pers’ atau merasa kebal hukum karena media massa sudah dianggap sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi.

Namun, ketika pemimpin redaksi atau wartawan suatu media massa diadili dan dipenjara, tidak berarti medianya otomatis dibekukan atau dihentikan. Sebab, media hanya dapat dibekukan atau dihentikan dalam satu keadaan, yaitu jika pemilik media bukan lagi warga negara khilafah. Pihak yang berhak memberi peringatan, membekukan, atau menghentikan operasional suatu media pun bukanlah pihak penguasa (al-hukkâm), melainkan peradilan saja.

Dalam negara khilafah, berita terkait pertahanan keamanan negara hanya diambil dari lembaga penerangan resmi negara dan hanya memberitakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta tidak menyebarkan ide yang bertentangan dengan aqidah Islam.

Kantor berita asing (seperti Reuter, AFP) atau perwakilan media asing (seperti perwakilan BBC) harus mendapat izin dari Departemen Dalam Negeri. Departemen ini juga yang berhak membekukan atau mencabut izin suatu kantor berita atau perwakilan media asing. Produk cetak dari luar negeri yang masuk lewat jalur perdagangan seperti majalah atau koran, harus mendapat izin Qadhi Hisbah.

Semua tindak pidana media massa termasuk kategori ta’zîr, yakni hukuman yang tidak ditentukan kadarnya oleh syariah, kecuali pidana qadzaf (menuduh berzina) yang termasuk dalam kategori hudûd. Beberapa tindak pidana itu adalah melakukan provokasi (tahrîdh), penghinaan (sabb), memfitnah (iftirâ’) dan menuduh berzina (qadzaf), menyebarkan gambar porno atau gambar aktivitas seksual, dan menyebarkan berita bohong. Contoh pasalnya adalah sebagai berikut:

Siapa saja yang di media memprovokasi publik agar tidak taat kepada khalifah, dipenjara maksimal satu tahun (pasal 24);

Siapa saja yang di media menghina tuhan-tuhan atau akidah kaum kafir dzimmi, dipenjara maksimal enam bulan (pasal 27);

Siapa saja yang memfitnah di media, misalnya menuduh si Fulan koruptor atau menerima suap, dipenjara maksimal dua tahun, kecuali ada bukti-buktinya (pasal 28);

Orang yang menyebarkan gambar porno di media, yaitu gambar (khususnya wanita) yang menampakkan lebih dari wajah dan dua telapak tangannya, dipenjara maksimal dua tahun (pasal 30).

Sedangkan untuk komunitas nonmuslim, mereka tetap diberikan hak untuk mendirikan lembaga pers bagi kepentingan pengajaran agama khusus komunitas. Selain itu juga tidak diperbolehkan untuk menyebarkan ghibah atau berita mengenai individu yang tidak diinginkannya untuk diberitakan kecuali terkait kedzaliman penguasa, serta tidak pula diperkenankan untuk menyebarkan fitnah.

Sedikit pemaparan ini setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa sistem pers negara kapitalis tidak tepat diterapkan di Indonesia karena menyebabkan masyarakat sipil yang lemah harus berhadapan dengan korporasi global yang memiliki kekuatan lebih besar dari negara.

Sistem tersebut juga mengakibatkan kepentingan negara dan jati diri bangsa yang berketuhanan serta berkedaulatan menjadi terancam akibat opini nasional dan internasional yang dibentuk oleh kekuatan asing. Pers adalah salah satu pilar yang dapat digunakan untuk mengkokohkan posisi suatu korporasi sehingga perlu adanya upaya penerapan sistem pers negara khilafah.

Wallahua’lam bish showab.

REFERENSI:

Adian Husaini, 2002, Penyesatan Opini Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Jakarta: Gema Insani.
Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta: ISAI dan LKiS.
Agus Sudibyo, 2006, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS.
Alex Sobur, 2009, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Cetakan Kelima, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Burhan Bungin, 2001, Imaji Media Massa, Yogyakarta: Jendela.
Darmanto, 2004, Membongkar Ideologi di Balik Penulisan Berita dengan Analisa Framing. http://www.oke.or.id
Denis McQuail, 1994, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Cetakan ketiga, Jakarta: Erlangga.
Eriyanto, 2009, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS.
Ibnu Hamad, 2004, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta: Granit.
Idi Subandy Ibrahim, 2011, Kritik Budaya Komunikasi, Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra.
Jerry D. Gray, 2006, Dosa-Dosa Media Amerika: Mengungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat, Jakarta: Ufuk Press.
John Vivian, 2008, Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedelapan, Diterjemahan oleh Tri Wibowo B.S., Jakarta: Kencana.
Kun Wazis, 2012, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Malang: Aditya Media Publishing.
Mohammad Fadhilah Zein, 2013, Kezaliman Media Massa Terhadap Umat Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Nadia Maharani, 2009, Sistem Pers Khilafah Perlu Diterapkan, http://www.harianjogja.com.
Shiddiq Al-Jawi, Majalah Al-Wa’ie, RUU Pers Negara Khilafah, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia.
 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.