JARILANGIT.COM - Pertamina masih menjadi operator tunggal pemasok avtur untuk maskapai penerbangan di dalam negeri dengan menerapkan harga yang kompetitif dengan pasar internasional.
Memang diakui bahwa Pertamina melakukan kerjasama dengan maskapai penerbangan secara bussiness to bussiness dilakukan sebagai bagian dari kepentingan bisnis corporate.
Namun begitu, tuduhan bahwa Pertamina melakukan monopoli penjualan avtur di dalam negeri dinilai tidak berdasar karena sampai saat ini belum ada produk hukum yang melarang penjualan avtur selain dari Pertamina.
“Maka logika yang dibangun dengan mahalnya harga avtur menyebabkan naiknya harga tiket pesawat dan juga naiknya biaya cargo pesawat adalah logika menyesatkan,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro, Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Club dari berbagai sumber menyebutkan bahwa komponen dasar atau unsur-unsur biaya operasional maskapai.
Pertama, biaya pembelian bahan bakar avtur mencapai 35-40 persen. Kedua, biaya Acquisition Costs (Depresiasi/Leasing) yang didalamnya ada komponen harga pesawat, bunga bank, PPN dan PPH mencapai 25-30 persen. Ketiga, biaya maintenance pesawat mencapai 20-25 persen.
Keempat, biaya awak pesawat dan bandara (ground handling) masing-masing mencapai 5-10 persen. Sisanya biaya marketing dan lain-lain.
“Keempat faktor tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan salah satunya dibebankan kepada customer dalam bentuk harga tiket pesawat. Meskipun beban terbesar maskapai dari pembelian BBM, maka tidak tepat jika seolah-olah semua kesalahan menumpuk karena tingginya harga avtur,” jelas Gigih.
“Jika kita melihat kasus di atas, memang kita lebih aware mempersoalkan hal remeh temeh, tapi tidak pernah membahas substansialnya apalagi membongkar akar persoalan. Maka yang terjadi adalah persoalan yang sama akan muncul kembali,” sambung dia.
Menurutnya, harus ada keberanian membongkar tuduhan Pertamina menjual avtur 20 persen lebih mahal dibandingkan dengan pasar internasional. Siapa aktor-aktor yang terlibat sebagai pemasok hingga menentukan harga tersebut sehingga dianggap mahal.
“Maka Pertamina sebagai operator dan pemasok tunggal harus berani transparan membuka price list harga avtur di seluruh Indonesia agar publik paham,” terangnya.
Demikian pula dengan biaya Acquisition Cost di mana skema operate lease yang dijalankan hampir maskapai termasuk Garuda Indonesia sangat menjadi beban tersendiri.
Hampir 90 persen Garuda Indonesia memanfaatkan operate lease dari 27 lessor seperti Boeing, Airbus, Bombardier, ATR, dan lain-lain atau hanya 22 pesawat dari 202 pesawat yang ada. Skema ini dijalankan secara turun temurun.
“Artinya, ada mentalitas jangka pendek dari direksi BUMN seperti Garuda Indonesia sehingga mewariskan beban dan biaya jangka panjang serta aset salah beli ke direksi berikutnya. Beban inilah yang menumpuk menjadi lilitan hutang Garuda Indonesia yang mencapai peningkatan Rp 3 triliun per tahun nya dari total hutang Rp 42 triliun. Salah satunya tunggakan avtur dari Pertamina sebesar Rp 3,2 triliun,” beber Gigih.
Kemudian, tambah Gigih, beban biaya Bandara dan Ground Handling yang meliputi layanan pengangkutan penumpang, bagasi, kargo, sampai menggerakan pesawat menuju area parkir atau menuju landasan pacu yang dikelola PT Angkasa Pura yang dibebankan kepada maskapai termasuk Garuda Indonesia juga terlalu tinggi 20 persen dibandingkan Bandara Changi Singapura. (Eriec Dieda/nn)