"eroh opo iku sinden ?" (tahu kegunaan Sinden ?)
"mboten mbah" (tidak tahu mbah)
"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, gak popo di garap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampe di gawe kelon" (Sinden itu tempat mandinya para penari sebelum tampil, nah, sinden yang di dekat sungai tidak
apa-apa di kerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh di datangi, apalagi di pakai kawin)
"Widya ngerti, sopo sing gok Sinden iku?" (Widya tahu siapa yang ada di sinden itu)
Widya diam lama, sebelum mengatakanya. "Ular mbah"
"nggih. betul" "sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo" (yg kamu lihat itu, adalah anaknya Bima sama)
"Ular itu mbah" mBah buyut mengangguk
"Iku ngunu, mbah sing kecolongan, Widya mek di dadekno Awu awu, ben si mbah ngawasi Widya, tapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes di incer karo" (itu, mbah yang kecolongan, Widya cuam di jadikan pengalih perhatian, biar si mbah ngawasi kamu, tapi mbah salah, dari awal,
yang di incar sama)
mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu. "
"Ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?" (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali ?)
"Isok isok" kata mbah Buyut, "sampe balak'e di angkat"
"Balak'e di angkat mbah" (bencananya di angkat) kata Widya, bingung.
"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di lakoni" (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat)
"Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki)
(Ayu sekarang harus menari mengelilingi Hutan ini)
"Sak angkule nari, sadalan-sadalan" (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini)
"Bima mbah?"
"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden" (Bima ya harus mengawini yang punya Sinden)
"Badarawuhi mbah"
Mbah buyut kaget.
"oh ngunu" (oh begitu) "wes eroh jeneng'e" (sudah tahu namanya)
"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari" (Badarawuhi itu salah satunya yang jaga di wilayah ini, tugasnya ya menari, jadi bangsa lelembut suka melihat tarian dari Badarawuhi, sekarang, Ayu harus menggantikanya)
"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo" (Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir ribuan ular)
"Salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate" (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)
"Badarawuhi iku ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok di tolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tak coba'e ngomong apik-apik'an, wedihku, koncomu ra isok balek orep2"
(Badarawuhi itu ratunya ular, bangsa lelembut yang sudah tak terbendung, kutukanya, gak bisa di tolak apalagi sampai di buang, besok pagi, biar tak coba ngomong baik-baik, takutnya, temanmu tidak bisa kembali hidup2)
mBah buyut pergi, Nur, Wahyu dan Anton melihat Widya sendirian di pawon, duduk, sembari termenung.
"Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent*t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t)
kaimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.
Meski yang di ucapkan Wahyu itu kasar, namun tidak ada yang keberatan dengan semua itu, terlebih, masalah ini sudah sampai ke pihak kampus, bahkan ke keluarga Bima dan Ayu.
Pak Prabu menceritakan bahwa kronologi kejadian ini sudah tidak bisa mereka bendung, KKN yang menjadi tanggung jawab beliau, harus sampai, ke semua orang yang terlibat, meski awalnya Nur mencoba memohon agar masalah ini jangan sampai keluar dulu, namun, hilangnya Widya, membuat
Pak Prabu akhirnya menyerah dan memilih melaporkanya.
Lalu apa yang terjadi sama Ayu dan Bima?
Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari pak Prabu.
Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh.
Pihak keluarga Bima maupun Ayu, marah besar, mereka tidak terima anaknya di bikin seperti ini.
Bahkan pihak kampus juga kena, karena kasusnya benar-benar hampir di bawa ke media nasional, Widya, Nur sampai harus mohon agar Ayu dan Bima di biarkan tetap tinggal disini, yang konon kata Mbah Buyut bisa saja balaknya di ambil sewaktu waktu, namun, dari pihak keluarga Ayu dan Bima, tidak mau lagi, mereka tetap membawa Ayu dan Bima, hasilnya ?
Ayu hanya bisa tidur dengan mata terbuka terus menerus, Widya pernah di ceritain oleh ibunya, bahwa kadang, ia melihat mata Ayu meneteskan air mata, tapi, setiap di tanya, dia hanya diam, tak menjawab, Ayu akhirnya meninggal setelah 3 bulan di rawat.
Abangnya, merasa bersalah sampai hampir mau mengamuk di desa itu, namun, pak Prabu pun sama, seharusnya sejak awal, saat Ayu memohon di ijinkan KKN disana, ia tegas menolak, alasanya, memang tempat itu tidak baik untuk di tinggali mereka yang masih bau kencur.
Bima ?
Bagaimana ? meninggal juga. Malam sebelum dia meninggal, Bima teriak minta tolong, tapi ketika ditanya, kenapa dan minta tolong apa ?
Bima berteriak ular, ular, ular, ia meninggal lebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalnya masih mau memperpanjang-masalah ini sama pihak kampus, tapi akhirnya di cabut, dengan catatan, KKN tidak lagi di adakan di timur jawa lagi, sejak saat itu, kampus ini, hanya memperbolehkan KKN ke arah barat, tidak lagi timur, apalagi Desa yang jauh.
— SimpleMan (@SimpleM81378523) June 24, 2019