Agenda Setting
Dalam agenda setting media merencanakan terlebih dahulu apa yang perlu dan penting untuk dipikirkan pembacanya, misalnya media akan membentuk citra tentang sesuatu, atau bisa juga media ingin mengubah persepsi masyarakat.
Contoh :
Dalam pilpres atau pilgub, media men-setting (merancang) pencitraan palsu untuk menjadikan Jokowi sebagai sosok calon pemimpin yang sederhana dan merakyat. Melalui berbagai pemberitaan yang masif diharapkan menjadi viral. Padahal sebelumnya masyarakat tak banyak mengenal sosok Jokowi.
Jokowi akhirnya menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan atau sekedar bahan obrolan. Pembentukan persepsi inilah yang dimaksud sebagai agenda setting.
Framing
Dalam framing media membentuk perspektif tertentu tentang berita yang disajikan dan itu akan berpengaruh terhadap sikap publik tentang beritanya.
Contoh :
Media memeberitakan blusukan Jokowi ditengah masyarakat miskin, maka akan terbentuk persepsi sosok Jokowi memang pemimpin yang di idolakan, bukan pemimpin yang hanya bekerja berdasarkan teori semata tapi tak mau melihat kenyataan lapangan.
Konsep framing
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi.
Proses pembentukan dan konstruksi realitas ini akan menghasilkan adanya bagian yang lebih menonjol, lebih dikenal dan khalayak tentu akan lebih mudah mengingat aspek yang disajikan media.
Media menseleksi, menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.
Menurut Frank D. Durham (Eriyanto, 2002:67) framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti.
Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.
Playing Victim
Playing Victim adalah strategi yang seolah-olah seseorang sebagai korban yang selalu di dzolimi, ditindas, mau dibunuh, minoritas tidak boleh ngapa-ngapain dan membuat seakan-akan mereka orang yang paling menderita dimuka bumi ini agar mendapat simpati orang lain yang kasihan padanya.
Contoh Playing Victim yang dimainkan strategi Ahok untuk mendulang simpati Oleh DR Iswandi Syahputra, Pengamat Media UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PERTAMA, perang hestek di media sosial antara #KamiAhok dan #PenjarakanAhok. Bisa diduga, yang menang perang hestek tersebut #KamiAhok. Mengapa ? Karena kubu pro Ahok memiliki banyak robot-robot virtual yang bisa digerakkan secara otomatis untuk mengangkat sebuah topik perbincangan di media sosial menjadi viral.
Faktanya, saat melakukan aksi lapangan jumlahnya cuma puluhan atau cuma ratusan. Hal ini tidak penting, bagi saya ini cuma memanupulasi politik di ruang virtual. Mencari kenikmatan semu, abaikan tetapi harus tetap disadari ini realitas palsu. Jangan mudah terkecoh…!
KEDUA, membangun citra Ahok adalah korban, istilahnya adalah playing victim. Arahnya jelas, meletakkan Ahok sebagai korban yang dizolimi untuk mendulang simpati agar saat Pilkada Ahok meraih kemenangan satu putaran. Menurut saya, hal kedua ini bukan berdiri sendiri atau terpisah, tapi bagian dari gerakan yang terlihat sistematis.
Bila hal pertama operasi udara, maka hal kedua operasi darat untuk ‘menduduki’ dan ‘memaksa’ perasaan atau opini publik berpihak pada Ahok. Untuk menunjang operasi darat ini, sejumlah pemain figuran ditampilkan. Adalah sopir taksi pakai kopiah (simbol Islam) yang menangis meratap sedih Ahok jadi tersangka, ada pula emak-emak berjilbab (simbol Islam) yang memeluk Ahok dengan erat, terharu.
Bagi yang paham drama politik, mudah sekali membaca realitas itu sebagai stimulator untuk merangsang simpati publik. Sasarannya jelas, muslim kaum miskin kota yang memiliki suara mayoritas.
KETIGA, menghadapkan Ahok head to head dengan Habib Rizieq. Hal ini saya baca sebagai bentuk ‘serangan’ untuk memecah konsentrasi semakin terkonsolidasinya kekuatan politik umat muslim. Dengan menghadapkan Ahok head to head dengan Habib Rizieq, Ahok sebenarnya sedang ‘berbicara’ pada kaum muslim Abangan yang lebih modern, urban, toleran, moderat bahkan liberal yang jumlahnya lebih besar dari kaum muslim fundamental.
Dalam konteks tersebut, di mata muslim Abangan, tentu Ahok akan lebih dinilai positif di banding Habib Rizieq yang oleh mereka dinilai memiliki rekam jejak negatif. Di saat bersamaan, berbagai rekaman ceramah Habib Rizieq yang bernada provokasi disebarkan. Umat muslim yang semula mendukung dibuat menjadi ragu-ragu.
Contoh buruk awak media..
Pantaskah orang seperti foto dibawah ini berbicara tak pantas di medsos ? silahkan nilai sendiri..