Dalam mengonstruksi realitas, ada dua peran yang dimainkan oleh media. Pertama, media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, di mana kesadaran khalayak dikuasai. Kedua, media juga dapat menjadi sumber legitimasi, di mana melalui media orang-orang yang berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah dan benar.
Proses ini melibatkan usaha pemaknaan yang terus-menerus yang diantaranya dilakukan melalui pemberitaan, sehingga khalayak tanpa sadar terbentuk kesadarannya tanpa paksa. Ideologi dan kepentingan pemilik modal turut menentukan praktik jurnalistik di ruang redaksi. Maka, hubungan politik ekonomi media juga akan mempengaruhi berita yang disajikan.
Dalam pendekatan politik ekonomi, akan diketahui kekuatan kelas kapitalis yang menguasai pencitraan media massa. Kelompok pemilik media menyuguhkan pilihan informasi kepada masyarakat dengan tujuan agar publik semakin mudah menangkap pesan media dan ikut dalam arus wacana yang disampaikan media massa.
Media massa mampu merepresentasikan diri sebagai ruang publik yang utama dan turut menentukan dinamika sosial, politik, dan budaya, di tingkat lokal maupun global. Media juga menjadi medium pengiklanan utama yang secara signifikan mampu meningkatkan penjualan produk barang dan jasa. Media massa mampu menghasilkan surplus ekonomi dengan menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi.
Beragam kemampuan inilah yang mendorong para pemilik modal (kapitalis) untuk menguasai media massa karena menjanjikan ladang baru bagi sumber kehidupan ekonomi mereka. Bahkan, media massa juga mampu menyebarkan dan memperkuat struktur politik ekonomi tertentu. Peter Golding dan Graham Murdoc sebagaimana dikutip Agus Sudibyo menyebut, media tidak hanya mempunyai fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis.
Munculnya industri media yang dibangun atas dasar kepentingan ekonomi para kapitalis, tidak lepas dari sudut pandang ideologi para pemiliknya. Hal ini akan menyebabkan corak dan karakter media sebenarnya adalah implementasi dari kepribadian sang penguasa media itu. Maka, kekuatan ideologi pemilik media massa, disadari atau tidak, akan mempengaruhi garis pencitraan berita di media massa tersebut.
Sebagai contoh misalnya, Harry Tanoesoedibyo melalui korporasi bisnisnya MNC memiliki RCTI, MNCTV, Global TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia (Sindo), Jaringan TV Satelit Indovision, dan berita internet okezone.com.
Abu Rizal Bakrie melalui PT Bakrie Brothers (Grup Bakrie) membawahi ANTV yang kini berbagi saham dengan STAR TV, TVOne yang sebelumnya bernama Lativi, dan viva.co.id.
Chairul Tanjung melalui PT Trans Corporation (Grup Para) membawahi Trans TV, Trans7, dan situs detik.com.
Jacoeb Oetama melalui Gramedia Grup memiliki Harian Kompas, kompas.com dan Kompas TV.
Surya Paloh melalui Media Grup membawahi Metro TV dan Harian Media Indonesia. Serta Dahlan Iskan yang menguasai Grup Jawa Pos.
Berbagai bisnis media tersebut mampu mempengaruhi persepsi publik tentang berbagai kejadian di tanah air. Hampir-hampir apa yang dikatakan oleh media massa tersebut adalah sebuah kebenaran.
Dalam perspektif kapitalis, kekuatan borjuis telah berhasil menguasai media massa yang mampu mendesain informasi sebagai komoditas yang menguntungkan. Akibatnya, media massa berkembang menjadi industri yang berorientasi pada kepentingan pasar dan keuntungan pemilik modal.
Efendi Gazali, Direktur Salemba School Institute for Media and Campaign Literacy, mengungkapkan setidaknya ada lima kebohongan yang bisa dilakukan oleh media.
- Membesar-besarkan atau mengecil-kecilkan data. Peristiwa memang ada, hanya saja disajikan lebih besar, lebih dramastis, atau lebih kecil, atau dianggap tidak terlalu penting untuk diberitakan secara detail. Misalnya, media kerap tertangkap basah mendramalisir berita penggerebekan terorisme ataupun aksi dari kelompok yang dilabeli dengan sebutan Islam radikal, seperti yang pernah terjadi di TVOne.
- Memberitakan yang tidak pernah ada. Misalnya, isu tentang senjata pemusnah massal milik Saddam Husein yang sejatinya hanyalah karangan Bush dengan bantuan kaki tangan media yang mendukungnya.
- Tidak memberitakan kejadian yang memang terjadi dan sebenarnya jika disajikan akan bermanfaat bagi publik. Wartawan lebih memilih bad news untuk disajikan kepada publik. Misal, selama ini media hanya memberitakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok FPI, tanpa mengimbangi dengan penjelasan tentang fakta yang sebenarnya terjadi bahwa FPI sudah mengirimkan surat resmi kepada kepolisian.
- Membohongi agenda publik dengan sengaja. Media membombardir kita dengan berbagai berita yang kemudian memaksa kita untuk mengakui agenda media itu sebagai hal-hal penting yang harus mendapatkan perhatian. Misalnya, isu kenaikan BBM dibarengi dengan berita terorisme yang masif, sehingga publik menjadi lebih tersibukkan pada isu terorisme dibandingkan isu kenaikan BBM.
- Membohongi publik dengan menekankan berkali-kali bahwa mereka (media) tidak sedang membohongi Anda. Media akan mewawancarai atau meminta para kolumnis atau pengamat berbicara di halaman serta layar mereka guna melengkapi keyakinan publik bahwa media tidak sedang berbohong. Bahkan, pada cara paling canggih dibuatlah sebuah panggung penuh seru, penuh dengan adu pendapat, tetapi pada ujungnya opini yang mengokohkan sikap suatu media terlihat jelas lebih rasional dan perlu didukung.