Debat putaran kedua hanya untuk calon Presiden, Ki Makruf dan Bang Sandi tak dilibatkan
Debat putaran kedua hanya untuk calon Presiden, Ki Makruf dan Bang Sandi tak dilibatkan

Debat putaran kedua hanya untuk calon Presiden, Ki Makruf dan Bang Sandi tak dilibatkan

Sesuai dengan ulasan The Economist, titik lemah Rezim Jokowi ada pada sisi ekonomi. Prabowo diperkirakan memiliki banyak peluru yang bisa ditembakkan



Aura debat kedua calon presiden Jokowi melawan calon presiden Prabowo makin sengit. Diperkirakan Prabowo akan ‘menelanjangi’ sejumlah kegagalan Jokowi dalam memiimpin Indonesia selama empat tahun terakhir. Apa saja yang bakal menjadi truft Prabowo dalam debat kedua nanti?

Menurut rencana debat kedua calon presiden yang akan digelar pada 17 Februari 2018 di Hotel Sultan hanya untuk calon presiden, yakni Jokowi dan Prabowo. Sementara calon wakil presiden, yakni Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahudin Uno, tidak dilibatkan, namun diperkenankan jika ingin hadir.

Adapun materi debat kedua telah disepakati bertemakan seputar isu energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur. Tentu saja Capres Jokowi sudah memiliki banyak rekam jejak kebijakan yang bisa dibanggakan yang bisa dipamerkan dalam debat tahap kedua ini.

Sebaliknya capres Prabowo diperkirakan memiliki banyak peluru yang bisa ditembakkan kepada incumbent untuk ketiga isu panas di atas.

Sesuai dengan ulasan The Economist, titik lemah Pemerintahan Jokowi ada pada sisi ekonomi. Itu sebabnya jika Prabowo cukup jenius, ia akan cekatan melontarkan dan mendalami isu debat kedua dimana Jokowi banyak kelemaha.

Seperti isu Freeport, anak stunting, gencarnya impor pangan, kenaikan harga minyak dunia, kinerja Pertamina yang jeblog, PLN yang rugi besar, isu pencemaran dan terutama soal jalan tol yang sepi peminat.

Secara umum harus diakui bahwa Indonesia belum berdaulat secara energi dan pangan, ditandai dengan posisi Indonesia sebagai net importir minyak dan pangan.

Pada sisi lain sumber daya alam yang seharusnya dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UU 1945, realitasnya malah dikuasai asing. Begitu juga lingkungan hidup kita belum berdaulat ditandai dengan masih kotor dan tak terawat dan bahkan didikte dunia internasional.

Sedangkan pembangunan infrastruktur lewat utang bukannya menyejahterakan rakyat justru membebani rakyat dengan utang dan defisit transaksi perdagangan yang terus melebar. Bahkan defisit perdagangan pada 2018 sebesar US$8,8 miliar merupakan defisit terparah selama 73 tahun Indonesia merdeka.

Kedaulatan energi kita dinilai banyak kalangan masih rendah. Sumber daya alam kita kaya akan energi, namun pengelolaannya terperangkap oleh pihak asing dan swasta, sehingga pemerintah gagal menjadikan sumber daya alam untuk kedaulatan energi

Aneka sumber tambang dan migas yang kita miliki tak membuat kita sejahtera, justru menjadi sumber bencana sosial dan politik. Hutan kita sangat kaya tapi dikuasai segelintir orang, minyak kita kaya tapi sejak 1998 kita berstatus net importir, sumber daya energi kita banyak tapi PT PLN harus berutang Rp543 triliun.

Begitu besar utang PLN karena dipaksa membeli produk energi swasta dan asing dengan harga mahal yang seharusnya PLN bisa kelola sendiri dengan harga yang murah. Kemahalan harga listrik kemudian dibebankan kepada rakyat berupa kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang terus mencekik.

Begitu pula dengan pengelolaan bahan bakar minyak (BBM), dengan kondisi net importir, pasar impor dikuasi para mafia minyak ditambah penugasan tak masuk akal sehingga membuat PT Pertamina menanggung utang sebesar Rp522 triliun.

Income per capita Singapura saat ini berkisar US$55 ribu, Malaysia US$11.500, sementara Indonesia US$4100 per tahun. Idealnya harga BBM Indonesia hanya 1/3 dari harga BBM Malaysia, sebagaimana harga BBM Malaysia 1/3 harga BBM Singapura. Tapi kalau harga BBM kita dibuat 1/12 harga BBM Singapura bisa memancing aksi penyelundupan.

Gegara 120 penyelundup BBM, 263 juta rakyat Indonesia harus membayar harga BBM lebih mahal dari seharusnya. Harga BBM kita sama dengan harga BBM Malaysia, idealnya 1/3 dari harga BBM Malaysia dengan perbandingan income per capita.

Termasuk isu BBM satu harga dan penggerogotan dana CSR Pertamina untuk kepentingan ‘kampanye terselubung’ pemerintah membuat kinerja Pertamina terseok-seok. Pada 2016 Pertamina masih bisa membukukan laba bersih Rp42 triliun, pada 2017 turun menjadi Rp36,4 triliun.

Sementara pada 2018 anjlog lagi ke posisi Rp20 triliunan, terlihat jelas ada salah kelola Pertamina dalam dua tahun terakhir.

Pada sisi lain kedaulatan pangan kita seperti sedang dalam ujian yang besar. Kalau di zaman Presiden Soeharto kita sempat mengalami swasembada pangan, saat ini kita seolah tergantung pada impor padahal produk petani kita cukup.

Sumber daya pangan kita sangat kaya dan produktif, namun kebijakan pemerintah selalu mengimpor, membuat petani menderita. Mulai dari beras, gula, jagung, kedelai, bawang, cabai yang keterlaluan, membuat petani gigit jari ketika panen.

Mafia impor pangan demikian jahatnya sehingga membuat kedaulatan pangan diaduk-aduk dan dipermainkan oleh segelintir orang saja. Bahkan program utama dalam Nawacita Presiden Jokowi gagal direalisasikan oleh kebijakan impor pangan yang berlebihan.

Impor pangan berlebihan ini memberi kontribusi tingginya defisit perdagangan pada 2018 hingga US$8,80 miliar dan defisit neraca pembayaran bisa menembus angka sebesar US$25 miliar.

Yang tak kalah menyakitkan kekayaan sumber daya alam kita yang seharusnya dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, justru dikuasai swasta dan asing.

Dengan sistem dan mekanisme korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kekayaan sumber daya alam kita mengalir ke luar negeri, sejak zaman penjajahan hingga hari ini. Ini harus dihentikan.

Data menunjukkan 30% produk raw mineral kita diekspor ke luar negeri, harusnya diolah di dalam negeri dulu baru diekspor agar ada nilai tambah (value added) dan nilai ekspornya lebih tinggi.

Celakanya ada 1% warga yang menikmati 49% sumber kekayaan alam kita. Ini menunjukkan sistem ekonomi yang berlangsung menimbulkan ketidakadilan ekonomi. Pada bagian lain kita memang perlu membangun infrastruktur karena memang kita mengalami ketertinggalan infrastruktur cukup signifikan dibandingkan negara-negara tetangga

Namun bagaimana infrastruktur itu dibangun dengan pembiayaan seperti apa, di sinilah masalah pokoknya.

Selama ini pemerintah bercita-cita membangun infrastruktur hingga Rp5.500 triliun. Oleh karena kemampuan APBN dan APBD hanya seperempatnya, sisanya diharapkan dari investasi namun gagal. Maka pembangunan infrastruktur dilakukan lewat utang

Dalam praktiknya, dalam membangun infrasrtuktur bahan baku seperti semen, besi baja, dan tenaga kerja diimpor dari China. Akibatnya mendorong defisit perdagangan, industri semen lokal seperti PT Semen Indonesia Tbk mengalami iddle capacity karena tak dipakai. Pola pembangunan infrastruktur seperti ini menyebabkan pengangguran tenaga kerja lokal bertambah akibat berbondong-bondongnya tenaga kerja China.

Karena itu niatan pasangan Prabowo-Sandi untuk membalik keadaan, melakukan reorientasi pembangunan menemukan momentumnya untuk menjadikan Indonesia Menang. Indonesia harus kembali berdaulat secara energi, pangan, sumber daya alam, termasuk air bersih, dan lingkungan hidup yang bersih.

Pada saat yang sama pembangunan infrastruktur dilakukan sesuai kebutuhan dengan model pembiayaan yang aman secara fiskal dan memanfaatkan bahan baku dalam negeri dan tenaga kerja lokal.

Lebih parah lagi soal pembangunan jalan tol Trans Jawa yang relatif sudah selesai, namun sepi peminat lantaran mahalnya tarif tol. Sehingga para sopir truk lebih memilih jalan arteri karena saking mahalnya tarif tol tersebut.

Itulah beberapa isu yang bakal memanas pada Debat Capres dan Cawapres Tahap Kedua. Selamat menyaksikan.

Penulis Djony Edward (nn)
 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.