Pada era now, keriuhan di sosial media (twitter) biasanya akan menjalar ke dunia nyata. Sebab, pemilik akun tersebut adalah manusia nyata, yang memiliki pemikiran, perasaan, dan akhirnya mengekspresikan suasana kebatinannya melalui cuitan.
Tagar #Uninstalljokowi bertengger di puncak trending topik jagat Twitter !
Salah, jika ada yang berasumsi dunia sosmed itu entitas terpisah, tak mempengaruhi dunia nyata. Bahkan, jagat sosmed justru menjadi pemantik realitas nyata pada kehidupan dan interaksi nyata. Dikehidupan era milenium, bahkan hingga seorang pencetak batu bata di kampung pun, sudah akrab dengan sosial media.
Di antara mereka bahkan lebih fasih mengulik gadget, ketimbang para generasi migrasi yang pernah Jaya ditahun 80-an. Mereka, lebih memahami semua fungsi smartphone, ketimbang seorang miliarder yang bisa memborong jutaan smartphone canggih dalam sehari.
Tentu saja, jumlah mereka berada di piramida sosial menengah dan kebawah. Artinya, pelaku jagat sosmed adalah mayoritas rakyat, bukan kalangan elit. Di jagat sosmed, elit politik tak mampu membuat 'kartel politik' untuk mengarahkan opini publik, meskipun mereka memperkerjajan jutaan akun robot.
Akun asli lebih dinamis, mengurai perasaan dan pikiran melalui tweet atau up date statusnya. Mereka, lebih memiliki rasa untuk menggerakkan massa, ketimbang akun robot yang canggung dan monoton.
Tagar #Uninstalljokowi sendiri bermula, ketika sejumlah penyembah 'berhala Jokowi' membuat gerakan tagar #Uninatallbukalapak, untuk merespons aspirasi 'Ganti Presiden' di laman bukalapak.com, sebuah situs belanja online. Bukannya memenangi pertarungan, pertarungan justru melebar.
Semestinya, tagar #Uninstallbukalapak dilawan dengan tagar #savebukalapak. Tapi itulah uniknya netizen, mereka telah memahami bahwa pertahanan paling sempurna adalah 'menyerang'. Netizen paham, dibalik gerakan tagar #Uninstallbukalapak, ada gerombolan cecunguk yang mengais makan dari tagar #Jokowiduaperiode. Serangan balik netizen ini, ibarat menghantam langsung ke ulu jantung rezim.
Permainan recehan tagar tagar #uninstallbukalapak yang bertengger pada level nasional (Indonesia), dilawan dengan tagar #uninstalljokowi yang mampu memuncaki jagat trending global (dunia).
Perlawanan ini terlalu besar, bahkan untuk waktu yang relatif singkat. Apalagi, tagar #uninstalljokowi hanya mewakili netizen yang sebelumnya percaya pada Jokowi, mengunduh aplikasi JokowiSederhanMerakyat, dan menempatkannya dalam memori keyakinan mereka. Jika jumlah ini, ditambah dengan aspirasi netizen yang sejak awal emoh Jokowi, tidak pernah menaruh keyakinan terhadap Jokowi, bisa dibayangkan betapa besar perlawanan terhadap Jokowi.
Anda tidak bisa mengabaikan opini sosmed, karena beberapa hal:
Tagar #Uninstalljokowi bertengger di puncak trending topik jagat Twitter !
Salah, jika ada yang berasumsi dunia sosmed itu entitas terpisah, tak mempengaruhi dunia nyata. Bahkan, jagat sosmed justru menjadi pemantik realitas nyata pada kehidupan dan interaksi nyata. Dikehidupan era milenium, bahkan hingga seorang pencetak batu bata di kampung pun, sudah akrab dengan sosial media.
Di antara mereka bahkan lebih fasih mengulik gadget, ketimbang para generasi migrasi yang pernah Jaya ditahun 80-an. Mereka, lebih memahami semua fungsi smartphone, ketimbang seorang miliarder yang bisa memborong jutaan smartphone canggih dalam sehari.
Tentu saja, jumlah mereka berada di piramida sosial menengah dan kebawah. Artinya, pelaku jagat sosmed adalah mayoritas rakyat, bukan kalangan elit. Di jagat sosmed, elit politik tak mampu membuat 'kartel politik' untuk mengarahkan opini publik, meskipun mereka memperkerjajan jutaan akun robot.
Akun asli lebih dinamis, mengurai perasaan dan pikiran melalui tweet atau up date statusnya. Mereka, lebih memiliki rasa untuk menggerakkan massa, ketimbang akun robot yang canggung dan monoton.
Tagar #Uninstalljokowi sendiri bermula, ketika sejumlah penyembah 'berhala Jokowi' membuat gerakan tagar #Uninatallbukalapak, untuk merespons aspirasi 'Ganti Presiden' di laman bukalapak.com, sebuah situs belanja online. Bukannya memenangi pertarungan, pertarungan justru melebar.
Semestinya, tagar #Uninstallbukalapak dilawan dengan tagar #savebukalapak. Tapi itulah uniknya netizen, mereka telah memahami bahwa pertahanan paling sempurna adalah 'menyerang'. Netizen paham, dibalik gerakan tagar #Uninstallbukalapak, ada gerombolan cecunguk yang mengais makan dari tagar #Jokowiduaperiode. Serangan balik netizen ini, ibarat menghantam langsung ke ulu jantung rezim.
Permainan recehan tagar tagar #uninstallbukalapak yang bertengger pada level nasional (Indonesia), dilawan dengan tagar #uninstalljokowi yang mampu memuncaki jagat trending global (dunia).
Perlawanan ini terlalu besar, bahkan untuk waktu yang relatif singkat. Apalagi, tagar #uninstalljokowi hanya mewakili netizen yang sebelumnya percaya pada Jokowi, mengunduh aplikasi JokowiSederhanMerakyat, dan menempatkannya dalam memori keyakinan mereka. Jika jumlah ini, ditambah dengan aspirasi netizen yang sejak awal emoh Jokowi, tidak pernah menaruh keyakinan terhadap Jokowi, bisa dibayangkan betapa besar perlawanan terhadap Jokowi.
Anda tidak bisa mengabaikan opini sosmed, karena beberapa hal:
Anda tidak bisa mengabaikan opini sosmed, karena beberapa hal:
Pertama, sumber literasi utama masyarakat era 4.0, masyarakat era milenium adalah sosial media. Mereka, baru membuat ferifikasi, klarifikasi dan konfirmasi melalu sumber primer, atau diskusi langsung, setelah mendapat informasi awal dari sosial media.
Kedua, hasil ferifikasi, klarifikasi dan konfirmasi baik melalui sumber berita primer atau melalui diskusi langsung, menarik keriuhan di jagat sosial media kedalam dunia nyata, sebagai bentuk amplifiyng isu atau opini yang berkembang. Pada tahap ini, opini sosial media Sesunggunya telah mewakili opini dunia nyata.
Ketiga, pada tahapan dimana kritik tidak digubris, kezaliman makin kental, gerakan sosial media ini akan bermigrasi pada gerakan nyata, baik bermigrasi dalam bentuk unjuk rasa, mempengaruhi preferensi politik dalam Pilpres, bahkan bisa juga memicu gerakan people power.
Pada kasus keemohan publik terhadap Jokowi, opini dan keributan sosial media ini telah bermigrasi menjadi aksi nyata berupa unjuk rasa. Bukti ini, dapat dilihat dari masiffya aksi bela Islam 212, termasuk aksi reuninya.
Dengan tidak mengurangi trend yang berkembang, riuhnya jagat sosmed tagar #uninstalljokowi dapat bermigrasi pada preferensi politik umat. tagar #uninstalljokowi maknanya jangan pilih Jokowi, jangan beri periode lagi, cukup sampai disini. Ini bisa berdampak langsung pada perolehan suara Pilpres 2019.
Namun, jika aspirasi ini dikekang, dihadang, dimanipulasi dengan kecurangan Pilpres, bukan tidak mustahil keriuhan tagar #uninstalljokowi bisa bermigrasi pada aksi nyata people power. Jika imbas ke tidakpuasan berujung pada people power, tidak menutup kemungkinan gerakan masa tidak saja minta #uninstalljokowi, bahkan bisa juga sampai meminta #uninstalldemokrasi.
Jadi, tagar #uninstalljokowi ini pertanda apa ? Jawabnya: ini pertanda, bahwa ajal kekuasaan Jokowi semakin dekat. Sebentar lagi, umat akan berpesta pora, bersujud syukur, karena telah mampu merobohkan rezim yang represif dan anti Islam.
Penulis : Nasrudin Joha, Aktivis Medsos
Pertama, sumber literasi utama masyarakat era 4.0, masyarakat era milenium adalah sosial media. Mereka, baru membuat ferifikasi, klarifikasi dan konfirmasi melalu sumber primer, atau diskusi langsung, setelah mendapat informasi awal dari sosial media.
Kedua, hasil ferifikasi, klarifikasi dan konfirmasi baik melalui sumber berita primer atau melalui diskusi langsung, menarik keriuhan di jagat sosial media kedalam dunia nyata, sebagai bentuk amplifiyng isu atau opini yang berkembang. Pada tahap ini, opini sosial media Sesunggunya telah mewakili opini dunia nyata.
Ketiga, pada tahapan dimana kritik tidak digubris, kezaliman makin kental, gerakan sosial media ini akan bermigrasi pada gerakan nyata, baik bermigrasi dalam bentuk unjuk rasa, mempengaruhi preferensi politik dalam Pilpres, bahkan bisa juga memicu gerakan people power.
Pada kasus keemohan publik terhadap Jokowi, opini dan keributan sosial media ini telah bermigrasi menjadi aksi nyata berupa unjuk rasa. Bukti ini, dapat dilihat dari masiffya aksi bela Islam 212, termasuk aksi reuninya.
Dengan tidak mengurangi trend yang berkembang, riuhnya jagat sosmed tagar #uninstalljokowi dapat bermigrasi pada preferensi politik umat. tagar #uninstalljokowi maknanya jangan pilih Jokowi, jangan beri periode lagi, cukup sampai disini. Ini bisa berdampak langsung pada perolehan suara Pilpres 2019.
Namun, jika aspirasi ini dikekang, dihadang, dimanipulasi dengan kecurangan Pilpres, bukan tidak mustahil keriuhan tagar #uninstalljokowi bisa bermigrasi pada aksi nyata people power. Jika imbas ke tidakpuasan berujung pada people power, tidak menutup kemungkinan gerakan masa tidak saja minta #uninstalljokowi, bahkan bisa juga sampai meminta #uninstalldemokrasi.
Jadi, tagar #uninstalljokowi ini pertanda apa ? Jawabnya: ini pertanda, bahwa ajal kekuasaan Jokowi semakin dekat. Sebentar lagi, umat akan berpesta pora, bersujud syukur, karena telah mampu merobohkan rezim yang represif dan anti Islam.
Penulis : Nasrudin Joha, Aktivis Medsos