JARILANGIT.COM - Data-data perekonomian selama masa pemerintahan Jokowi yang disajikan Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga Gubernur BI serta Ketua OJK, diduga banyak yang ngawur.
Data-data yang disampaikan mereka itu tidak menggambarkan secara keseluruhan kondisi ekonomi Indonesia yang sebenarnya. Para punggawa keuangan di pemerintahan Jokowi, diduga memoles data-data perekonomian yang disampaikan sedemikian rupa. Padahal, banyak masalah yang seharusnya menjadi konsen pemerintah.
Empat tahun ini, ekonomi rakyat lesu, air mata menetes, tapi elite penguasa ngeles dan data ekonomi terus dipoles. Coba cermati realitas, betapa tega elite penguasa pada rakyatnya yang menderita.
Demikian kritik Ekonom Faisal Basri yang juga peneliti senior Indef. Sungguh, ekonomi Indonesia defisit dalam semua lini. Pengamat ekonomi Salamudin Daeng mencatat, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), sejak 2015 sampai dengan 2017, neraca eksternal Indonesia (dihitung berdasarkan kurs Rp14.000 per US$), sebagai berikut:
Terjadi defisit neraca transkasi berjalan secara akumulatif senilai Rp727,9 triliun. Jika ditambah defisit kuartal I-2018, jumlahnya mencapai Rp805,5 triliun.
Terjadi defisit perdagangan migas secara akumulatif mencapai Rp249,5 triliun. Jika ditambah defisit kuartal I-2018, maka nilainya mencapai Rp282,6 triliun.
Terjadi defisit dalam transaksi jasa secara akumulatif mencapai Rp330,5 triliun. Jika ditambah defisit kuartal I-2018, maka nilai defisit mencapai Rp350,5 triliun.
Terjadi defisit pendapatan primer secara akumulatif mencapai Rp1.274,1 triliun. Jika ditambah defisit pada kuartal I-2018, nilainya mencapai Rp1.384,5 triliun.
Terjadi defisit perdagangan sepanjang 2018 senilai Rp40,5 triliun (data Kementerian Perdagangan) dan akan terus berlanjut.
Salamudin Daeng menambahkan, penyebab dari luar adalah: terjadi perang dagang antara negara pelaku ekonomi utama yakni Amerika Serikat (AS) terhadap pesaing utama yakni China.
Selain itu, Ingris telah keluar dari Uni Eropa. Ini berarti rezim perdagangan bebas dan sistem ekonomi politik neoliberal sudah tamat.
Saat ini, Amerika Serikat dibawah Donald Trump mengambil segala langkah di bidang investasi, perdagangan dan keuangan dalam rangka melindungi ekonomi nasional AS. Selanjutnya, AS melancarkan perang tarif terhadap China, juga terhadap negara negara lain seperti Korea dan termasuk Indonesia. Hanya saja eskalasinya tidaklah sedahsyat China.
Amerika Serikat telah melakukan berbagai langkah menarik investasi swasta mereka yang ada di luar negeri agar kembali ke Amerika khususnya investasi mereka di China. "Amerika serikat melancarkan strategi meningkatkan suku bung dalam rangka memperoleh tingkat keseimbangan mata uang bagi kebangkitan ekonomi dan industri AS," ujar Salamudin Daeng, peneliti ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Penyebab dari dalam: pemerintahan Jokowi kebanyakan diisi para ekonom ultra neoliberal. Mereka sibuk memotong subsidi. Sementara AS dan China terus memperkuat subsidi terhadap ekonomi mereka menghadapi perang dagang.
Para pejabat negara Indonesia ultra neoliberal mengambil kebijakan menaikkan harga energi khsuusnya BBM dan listrik yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Sementara, negara lain berfikir bagaimana membuat energi murah agar industri nasional mereka bisa bersaing.
Para menteri ultra neoliberal membuat jebakan pada pemerintah dengan memasukkan uang panas melalui program tax amnesty. Indonesia menjadi tempat cuci uang dari berbagai kejahatan pajak internasional. Program tax amnesty gagal total memperbaiki penerimaan pajak.
Orang orang yang berpandangan ultra neoliberal dalam kabinet Jokowi terus secara leluasa membawa negara pada ketergantungan barang impor, dan menyandarkan APBN pada utang luar negeri dan pasar keuangan dan menjual BUMN sebagai agunan utang.
Dalam tahun politik kabinet pemerintahan Jokowi mulai sibuk dengan urusan masing masing, partai masing masing. Otomatis program dan proyek strategis nasional akan terabaikan dan rawan korupsi.
Dalam hal ini, Faisal Basri pun mengkritik ekonomi Jokowi yang nyungsep. "Tadi pagi, saat Sri Mulyani, Perry Warjiyo dan Wimboh Santoso menyampaikan paparan ekonomi, kita seolah-olah hidup di surga. Kalau betul di surga, kenapa elektabilitas Jokowi mandek di 53 persen, kepuasan harusnya meningkat luar biasa," ujar Faisal Basri dalam diskusi CNBC Indonesia Outlook 2019 di Jakarta, Kamis (28/2/19).
"Mau pemilu ya pemilu, tapi kosmetik jangan seperti pantomim. Poin saya, tidak ada yang bicara tentang impor yang terus naik untuk pertanian, kemudian surplus nonmigas yang turun terus," kata dia.
Faisal mengkritik data rasio pajak yang disebut Sri Mulyani mencapai dua digit. Padahal, angka rasio pajak tersebut memasukkan komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA). "Cara (pemerintah) meningkatkan rasio pajak dengan memasukkan PNBP. Keterlaluan menurut saya. Kalau begitu, penerimaan sumber daya alam turun, ya rasio pajak juga turun," jelas dia.
Faisal juga mengkritik pernyataan Perry yang optimis rupiah akan terus menguat dan berada di bawah Rp14 ribu per US$. Menurut Faisal, dari pernyataan Perry, BI seolah-olah hanya berharap penguatan rupiah dari doa.
Faisal menekankan, siapa pun presiden yang terpilih dalam pemilu 17 April, tak akan berdampak terlalu besar terhadap perekonomian Indonesia. Perekonomian tahun ini, diprediksi tetap tumbuh di kisaran 5%. Artinya, stagnasi ekonomi di era Jokowi akibat pelemahan daya beli rakyat. Bagaimana ini Pak Jokowi? (ipe/in)