Razia di kawasan wisata Tretes, Prigen, Kabupaten Pasuruan masih gencar dilakukan. Sebab, prostitusi di kawasan dingin tersebut makin marak terjadi.
Mati satu tumbuh seribu. Satu wisma ditutup, bermunculan wisma–wisma lain yang digunakan untuk menjajakan bisnis haram tersebut. Terbaru, sebanyak 8 PSK terjaring razia satpol PP kabupaten Pasuruan.
Para PSK yang terjaring terbilang masih berusia muda. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Pula Jawa seperti Malang, Pasuruan, Blitar, Tangerang, Bangkalan dan lainnya.
Sudah jamak diketahui, wilayah Tretes memang menjadi kawasan favorit praktik prostitusi. Pada bulan Februari lalu, Satpol PP Pasuruan mengamankan 13 PSK di Eks Lokalisasi Watu Adem Tretes.
Bulan Desember tahun 2018 juga sebanyak 9 PSk terjaring di kawasan yang sama. Bahkan diantara mereka ada yang terindikasi terjangkiti HIV/AIDS. Seperti tak pernah habis. Berulangkali kawasan tersebut dirazia, mereka tak pernah kapok mengulanginya. Malah terlihat ceria dan senyum–senyum saja.
Bisnis esek–esek yang menyubur di kawasan Tretes membuat wajah kota santri tercemari. Pasuruan yang dikenal sebagai kota santri pun tak luput dari perilaku seksual yang kebablasan. Mirisnya, hal itu berlangsung begitu saja tanpa solusi. Kawasan wisata tersebut dianggap sebagai tempat 'mangkal' yang nyaman bagi para PSK dan pelanggan mereka.
Razia berulang faktanya tak cukup memberikan efek jera. Sebab, razia bukanlah solusi mendasar untuk membabat habis bisnis haram tersebut. Ada beberapa alasan mengapa praktik prostitusi masih terjadi.
Pertama, kehidupan sekuler–liberal. Tak dipungkiri, kehidupan yang jauh dari tatanan dan aturan agama justru menumbuhkan kebebasan berperilaku. Kebebasan yang menjerumuskan moral manusia sampai ke lembah kehinaan. Halal – haram tak lagi menjadi ukuran. Yang penting senang, materi tercukupkan.
Kedua, lemahnya sanksi hukum. Para pelaku PSK yang terjaring razia biasanya hanya dikenai saknsi tindak pidana ringan. Jika mereka terbukti sebagai PSK, mereka hanya diganjar kurungan 6 hari. Sang pelanggan, asal tak ketahuan, ya aman-aman saja. Maka tak heran bila mereka tertangkap, tak ada rasa was-was atau takut.
Para PSK dan pemakai jasa PSK tak bisa dijerat dengan KUHP. Direktur Eksekutif Lembaga Strategis Kepolisian Indonesia Edi Hasibuan menilai sanksi hukum untuk para pelanggan dan pekerja seks komersial (PSK) terlalu ringan hanya mucikari dan penyedia lokasi prostitusi saja yang mendapat hukuman berat.
Fakta hukum tersebut menunjukkan bahwa hukum yang ada sama sekali tak memberi efek jera bagi pelaku dan pihak yang terlibat dalam bisnis haram tersebut. Hal ini membuktikan bahwa hukum manusia belum mampu menuntaskan persoalan hingga ke akar.
Ketiga, peran negara. Praktik prostitusi bukanlah sekedar persoalan sosial tapi sudah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Beberapa PSK mengungkap alasan melakukan praktik zina tersebut. Diantaranya, faktor ekonomi, korban kekerasan seksual, dan persoalan sosial lainnya.
Faktor pemicu ini seringkali tak menjadi perhatian negara dalam melibas prostitusi. Tindakan pencegahan dalam menutup rapat pintu zina tak dilakukan. Seperti pendidikan memadai, keluarga taat agama, dan masyarakat yang peduli.
Oleh karena itu, prostitusi hanyalah akibat dari penerapan kehidupan sekulerisme yang jauh dari aturan agama (Islam). Masyarakat tak terbentuk nilai kehidupan islami, keluarga tak memahami peran dalam mendidik generasi, dan negara lemah dalam memberikan sanksi.
Penulis Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban