Setelah perusahaan Indonesia dan tentara Indonesia disusir dari Bandara Halim Perdana Kusuma, kembali pemerintah akan kehilangan asset strategis di Blok Masela, sebuah cadangan gas yang sangat besar yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa ini dalam mewujudkan kedaualatan nasional dan ketahanan energi.
Sebelumnya pemerintah Indonesia mengalami kekakalan dalam negosiasi yang sia-sia dalam merebut Blok Mahakam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perebutan Blok Mahakam yang melalui proses perjuangan panjang juga telah berakhir dengan kesia siaan. INPEX mengkaim bahwa perusahaan yang menjalin kerjasama production sharing contract (PSC) dengan Indonesian Government sejak October 1966, saat ini masih menguasai 50% saham dalam Offshore Mahakam Block.
Sementara Total menguasai 50 % sisanya. Jadi mana katanya bahwa Blok Mahakam akan dikembalikan kepada Pertamina.
Blok Masela NPEX acquired a 100% saham Masela Block sejak November 1998. Perusahaan INPEX menguasai 65% saham Blok Mashela sementara Shell menguasai sisanya 35%. Blok ini akan dikuasai selama 30 tahun ke depan.
Lalu dimana pemerintah Indonesia, dalam hal ini Pertamia. Sebelumnya dalam perdebatan soal Blok Mahakam mengemuka wacana agar kompensasi atas perpanjangan kontrak blok Mahakam kepada Total, sebagai kompensasinya Pertamina memperoleh bagian dalam Blok Masela, namun itu tidak omong kosong dan tidak terjadi.
Perdebatan Yang Menyedihkan
Sekarang perdebatan Blok Masela bukan lagi soal negara dan swasta. Bukan lagi soal berapa saham pemerintah melalui pertamina dan berapa saham swasta asing. Namun sebuah perdebatan yang menyedihkan soal apakah di darat dan di laut.
Biang kerok perdebatan ini adalah Sudirman Said menteri ESDM yang menjalankan seluruh kemauan dan rencana dari perushaan IMPEX untuk membangun pengelolaan terapung di Blok tersebut.
Perdebatan yang terjadi tanpa studi kelayakan yang benar dan tidak pernah dikemukakan ke publik. Seharusnya perdebatan ini adalah perdebatan tentang bagaimana negara memiliki saham mayoritas dalam blok masala, sebuah cadangan gas abadi yang akan memastikan negara berdaualat atas energy.
Selama ini kekayaan energy khususnya gas dialokasikan ke pasar ekspor, sementara masyarakat Indonesia dipaksa membeli gas dengan harga yang sangat mahal. penguasaan negara secara mayoritas juga akan memastikan Indonesia tidak mengalami kelangkaan gas sebagaimana yang terjadi saat ini.
Sebagaimana diketahui bahwa Blok Masela merupakan salah satu wilayah kerja migas di Indonesia yang tercatat memiliki kandungan gas terbukti mencapai 10,7 trilion cubic feet (TCF). Sebagaimana dikemukakan oleh INPEX sendiri bahwa Produksi pertama dari gas diharapkan pada tahun 2018 dengan output awal 2,5 juta ton LNG per tahun dan 8.400 barel per hari kondensat.
Mereka Sedang Berburu Apa?
Sebagaimana diketahui dalam beberapa waktu terakhir terjadi penurunan harga dalam seluruh komoditas termasuk minyak dan gas. Menurut data IAEA Harga natural gas telah menurun dari juli 2015 senilai 8 dolar per MMBTU menjadi hanya 2 dolar per MMBTU.
Harga gas juga akan terus merosot sering dengan peningkatan supply gas yang dipasok oleh Amerika Serikat ke pasar dunia. Bahkan minggu lalu harga natural gas merosot dari $1.79/MMBtu pada rabu minggu lalu to $1.59 kemarin. Ini meruypakan harga terendah sejak tahun 1998.
Saat ini perrushaan yang tengah bergerak dalam sektor minyak maupun gas rata rata menutup usaha mereka, mengurangi investasi dan pengeluaran secara significant, memotong investasi dan bahkan melakukan PHK. Namun mengapa di Indonesia melakukan hal yang berbeda. Pasti ada udang dibalik batu.
Bahkan INPEX melakukan hal terbalik yakni membangun kilang terapung yang sudah pasti biayanya akan lebih mahal dibandingkan di darat. Konon menurut ESDM sebagaimana dilansir Tempo biaya investasi mencapai USD 30 miliar dilar atau hampir Rp. 400 triliun untuk nilai kurs saat ini.
Mengapa mereka secara beramai ramai sepakat dengan biaya investasi sebesar itu? perlu diketahui bahwa dalam skeme pengelolaan migas di Indonesia seluruh baiay investasi yang dikeluarkan swasta dalam ekplorasi dan ekploitas migas akan digantikan secara keseluruhan oleh negara setelah cadangan benar benar tebukti. Dan blok masala sudah terbukti mengandung cadangan gas abadi, sehingga berapapun biayanya akan digantikan oleh negara melalui cost recovery.
Dalam era pemerintahan Jokowi, setelah negara kehilangan cadangan gas dalam jumlah yang sangat besar sebagai lahan pengerukan asing. Kembali kita akan kehilangan uang negara dalam jumlah besar untuk membiayai perushaan minyak asing melalui cost recovery. Tahun 2015 lalu Indonesia mengeluarkan 13,5 miliar dolar sebagai cost recovery, jauh melebihi seluruh revenue penjualan migas. Bagaimana bisa?? Ini adalah bancakan yang besar !
Penulis : Salamuddin Daeng peneliti Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno