JARILANGIT.COM - Seorang relawan sekaligus korban gempa Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Amusrin Kholil, dijerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Dia dinilai mengancam pemerintah daerah di Lombok Utara karena bekerja lamban dalam penanganan gempa.
Pada 26 September 2018, Amusrin Kholil, mengomentari status Facebook temannya. Dia menuliskan kalimat yang menurut pejabat di Lombok Utara mengandung ancaman.
"Bunuh dan seret semua jajaran PEMDA KLU kalau tidak segera merealisasikan dana bantuan tersebut...... Bantai semua para pemangku kebijakan yang bertele-tele dalam mengayomi warga korban..... Saya sangat tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh PEMDA," tulisnya.
Buntut komentar tersebut dia dijerat UU ITE dan kini menjalani proses persidangan.
Amusrin Kholil merupakan relawan dari Endris Foundation. Organisasi yang membantu kelompok difabel di NTB. Saat gempa, organisasi itu bertindak cepat dengan membantu warga korban gempa.
Kholil selain menjadi relawan, juga merupakan korban gempa. Rumahnya ambruk akibat gempa Lombok 7,0 magnitudo. Bahkan, tiga keluarganya meninggal dunia akibat gempa.
Komentarnya pada status rekannya yang memposting isi tuntutan massa yang meminta bantuan gempa dipercepat. Karena sebelum status dibuat rekannya, terlebih dahulu masyarakat Lombok Utara menggelar aksi menuntut bantuan gempa direalisasikan.
Wakil Bupati hingga Perumus UU ITE
Sidang mendengar saksi dan ahli dalam kasus tersebut digelar di Pengadilan Negeri Mataram, Kamis sore, 13 Juni 2019. Kuasa hukum Kholil, Yan Mangandar Putra, bersama rekan kuasa lainnya menghadirkan Wakil Bupati Lombok Utara, Sarifudin.
Dalam keterangan usai disumpah, Sarifudin yang menjawab pertanyaan pengacara, mengatakan roda pemerintahan Lombok Utara tidak terganggu akibat komentar Kholil di Facebook.
"Sepengetahuan saya tidak ada yang terjadi membuat pemerintah daerah tidak berjalan. Kejadian itu saya kira menjadi sesuatu yang saya melihat tidak berlanjut, sesuatu hal yang biasa," ujarnya.
Dia juga menjelaskan tidak ada pengaduan dari ASN yang merasa terancam akibat komentar Kholil. Bahkan, dia sendiri tidak merasa terancam.
"Karena tidak menyebut pribadi, saya tidak terancam," katanya.
Dia mengenal terdakwa yang merupakan temannya saat sekolah dulu. Sehingga dia meyakini terdakwa tidak akan merealisasikan apa yang ditulisnya pada komentar Facebook. Bahkan, wakil bupati mengenal Kholil sebagai sosok relawan gempa yang aktif membantu masyarakat.
"Banyak sekali bantuannya pada masyarakat korban gempa. Dia banyak memberikan bantuan," katanya.
Selain itu, Sarifudin mengakui saat komentar Kholil di Facebook, memang kerja pemerintah Lombok Utara belum maksimal dalam membantu korban gempa, bahkan banyak masyarakat yang mengkritisi lebih sadis dari komentar terdakwa atas kinerja pemerintah menanggulangi korban gempa.
"Pada saat itu (saat status darurat gempa) tentu kami merasa belum maksimal, dan penanganan gempa tidak dilakukan langsung pemerintah daerah melainkan melalui pemerintah provinsi," katanya.
"(Kritikan masyarakat) lebih sadis banyak, bahkan mengancam saya itu ada. Pemerintah daerah harus memberikan bantuan jika tidak akan kita bunuh, bakar," katanya.
Dia juga mengatakan Kholil secara pribadi pernah meminta maaf pada dirinya atas komentar tersebut.
Pasal Salah Sasaran
Selain wakil bupati, pengacara juga menghadirkan salah satu perumus UU ITE, Teguh Arifiadi. Teguh juga menjadi ahli beberapa kasus ITE, seperti Ahmad Dhani, Kaesang, Buni Yani, Baiq Nuril hingga Ratna Sarumpaet.
Ahli dari Kominfo ini menjelaskan pasal yang digunakan menjerat Kholil akarnya dari pasal 368 dan 369 KUHP. Dia menjelaskan maksud dalam pasal 27 ayat (4) UU ITE adalah pengancaman dengan maksud memeras untuk keuntungan ekonomi.
"Harus ada motif keuntungan pribadi karena akarnya pasal 368 dan 369 (KUHP). Contoh saya bunuh kamu kecuali kamu kasih saya uang. Harus ada motif keuntungan dan wajib (bermotif keuntungan)," katanya.
Sementara itu, pada komentar Kholil, tidak memiliki motif ekonomi. Kholil dalam komentarnya bermaksud agar pemerintah daerah mempercepat bantuan gempa.
"Kesalahan fundamental jika menggunakan pasal itu, karena itu harus motif keuntungan," katanya.
Selain itu, Teguh juga menjelaskan pada pasal 27 ayat (4) subjeknya adalah individu. Artinya yang diancamkan secara langsung adalah individu bukan lembaga pemerintah.
Kemudian, dia juga menjelaskan yang dimaksud dapat diakses publik seperti status Facebook, bukan komentar pada status Facebook.
"Status dapat diakses publik. Kalau komentar itu ruang terbatas, ketika sudah lebih dari lima (komentar) dia akan hilang, kita perlu tindakan tambahan lagi, makanya status sifatnya publik, tapi komentar ruang tambahan," katanya. (v)