JARILANGIT.COM - Sikap "dingin" Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri, terhadap rekan-rekan koalisinya saat pembukaan Kongres V PDIP, menjadi pergunjingan publik sejak kemarin.
Sikap Mega yang tidak menyapa satu per satu ketua umum parpol koalisi diduga akibat kurang baiknya hubungan Mega dengan Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh, belakangan ini.
Di mata analis politik, Hendri Satrio, hubungan Mega-Paloh hanya dapat diperbaiki oleh campur tangan Jokowi.
"Cepat atau lambat, nanti ada saatnya mereka jadi satu lagi. Yang jadi 'lem' antara Surya Paloh dan Megawati ini kan sebetulnya Presiden Jokowi. Tinggal Jokowi yang selesaikan itu,” ujar Hendri Satrio, Jumat (9/8). Seperti dilansir dari Rmol.
Menurut pengamat yang akrab disapa Hensat ini, penyebab utama "perang dingin" Mega-Paloh adalah alotnya tawar-menawar pengisian jabatan Jaksa Agung untuk kabinet Jokowi-Maruf Amin. PDIP dan Nasdem punya kriteria sendiri-sendiri untuk kandidat Jaksa Agung.
“Posisi Jaksa Agung itu kan perdebatan Nasdem dan PDIP, apakah dari partai atau profesional atau jaksa karir. Nanti kita lihat saja, saya rasa sih Pak Jokowi akan menyelesaikan itu," ucap Hensat.
Ia pribadi menyarankan Jokowi memilih Jaksa Agung baru dari kalangan jaksa karir untuk mencegah terjadinya konflik internal di Korps Adhyaksa.
"Akan lebih baik kalau Pak Jokowi mendorong jaksa karir," sarannya.
Kabar bahwa hubungan Mega dan Surya Paloh memburuk mulai ramai sejak pertemuan para Ketum Parpol Koalisi Indonesia Kerja di DPP Nasdem, Gondangdia, Jakpus yang tidak melibatkan Megawati (Senin, 22 /7).
Dua hari kemudian, terjadi "reuni" Megawati dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Teuku Umar, Jakpus (Rabu, 24/7). Pada jam yang sama, Paloh mengundang Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, untuk makan siang di DPP Nasdem.
Dari kedua peristiwa politik itu, muncullah istilah Poros Gondangdia dan Poros Teuku Umar.