Pemindahan Ibukota Akan "Dibanjiri" Tuntutan Daerah-Daerah
Pemindahan Ibukota Akan "Dibanjiri" Tuntutan Daerah-Daerah

Pemindahan Ibukota Akan "Dibanjiri" Tuntutan Daerah-Daerah

Rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, hingga kesulitan ekonomi bersatu padu menjadi "tsunami tuntutan" yang bisa muncul bak air bah yang bisa menghantam keutuhan NKRI



SAYA mengamati isu pemindahan Ibukota akan menjadi "bara api" baru bagi perlawanan rakyat. Orang Jakarta (betawi) mulai menuntut kompensasi atas tanah yang ditempati menjadi Ibukota selama 74 tahun. Ada lagi yang ingin otonomi khusus, bahwa Jakarta tidak boleh dipimpin oleh orang yang bukan betawi. Tuntutan ini bisa bertambah, hingga merembet pada hal-hal lain. Pemindahan Ibukota kini benar-benar menjadi "api" yang akan siap "menghanguskan" semangat persatuan Indonesia.

Sepertinya tuntutan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berdiri di Padang Sumatera Barat tahun 1949 tidak terlalu berbahaya, karena hanya menuntut otonomi khusus dan perhatian pemerintah terhadap daerah di luar Jawa.

Berbeda dengan PRRI, reaksi keras masyarakat terhadap pemindahan Ibukota bisa memicu disintegrasi. Rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, hingga kesulitan ekonomi bersatu padu menjadi "tsunami tuntutan" yang bisa muncul bak air bah yang menghantam keutuhan NKRI.

Beberapa daerah mengalami kecemburuan terhadap sikap dan tindakan pemerintah. Orang-orang Sumatera juga merasa bahwa daerahnya sangat layak menjadi Ibukota. Sementara di Papua tuntutan merdeka semakin menggema, bahkan sudah 1,8 juta jiwa menandatangani referendum yang telah dibawa ke PBB pada Januari 2019.

Kekacauan Papua masih belum teratasi sepenuhnya, demonstrasi masih bergejolak di sana, pemerintah hanya sibuk mengurus wacana pemindahan Ibukota. Disebut wacana, karena kajian tentang pemindahan Ibukota belum terlihat secara detail dan holistik.

Dengan bermodalkan power point lima lembar, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meyakinkan masyarakat akan keseriusan wacana pemindahan Ibukota. Beredar lagi sebuah gambar yang memperlihatkan dugaan plagiasi dari atas infografis dari negara lain.

Mengutip Prof. Emil Salim, Bappenas tega memberikan kajian yang keliru cara itu. "Kenapa Bappenas tega berbuat seperti itu? Saya sedih sekali mendengarnya. Kasihan Presiden yang memikul beban seperti itu". Reaksi Emil Salim ini muncul ketika power point disebarkan oleh Bappenas dan itu memang memalukan.

Kalau dilihat dari kesiapan, pemindahan Ibukota ini hanya sebatas wacana yang menguras energi bangsa. Saya juga curiga jangan-jangan keributan, melempar wacana dan semacamnya, memunculkan keributan di masyarakat menjadi salah satu program pemerintah. Karena setiap hari masyarakat disibukkan dengan wacana pemindahan Ibukota yang belum tentu terjadi.

Dari segi hukum sedikitnya 7 (tujuh) UU yang harus diubah. Regulasi terrsebut di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tentang DKI Jakarta sebagai Ibukota, UU Pemda, UU tentang pengadaan tanah untuk Ibukota, UU pengadaan tanah untuk kawasan strategis, UU tata ruang, dan UU tentang lingkungan. Tidak menutup kemungkinan dibuatkan regulasi baru. Bisa jadi regulasi baru itu lebih dari satu. Artinya syarat pemindahan Ibukota dari segi aturan hukum belum terpenuhi.

Menelusuri filosofi Ibukota, maka Jakarta adalah kota yang tidak tergantikan untuk sebuah Ibukota. Sebab sejarah panjang bangsa Indonesia telah dirumuskan di Jakarta oleh para founding father bangsa ini. Di Jakarta penyusunan falsafah bernegara, di Jakarta dibacakan proklamasi kemerdekaan, di Jakarta diputuskan NKRI, dan semua sejarah kolonialisme itu berpusat di Jakarta.

Maka sudah sewajarnya Jakarta menjadi Ibukota negara dan tetap menjadi Ibukota negara. Kalau misalnya pemerintah ingin pemerataan pembangunan dan membangun Ibukota baru, maka ia Ibukota sebagai pusat bisnis. Tidak mungkin pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan dengan membangun yang baru, menyusun ulang sejarah baru, budaya Ibukota baru dan lain sebagainya.

Contohnya Amerika Serikat yang memiliki dua Ibukota kembar. New York menjadi pusat bisnis, sementara Washington DC menjadi Ibukota administrasi pemerintahan sekaligus budaya dan sejarah bangsa Amerika. Sementara wacana pemindahan Ibukota Indonesia ini kelihatan tidak jelas, bahkan pemindahan ini seperti pemindahan total, mulai dari pemerintahan, budaya, dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia akan dibawa ke Kalimantan, dan Jakarta ditinggalkan menjadi kota bersejarah yang mati karena ditinggal.

Saya mencurigai ada segelintir orang yang ingin mengubur sejarah bangsa Indonesia dan menggantinya dengan sejarah bangsa lain yang lebih baru sehingga jati diri bangsa Indonesia hilang dan negara ini akan dikendalikan oleh golongan bangsa lain. Saya menduga itu terjadi, karena akar sejarah dan museum perjuangan bangsa Indonesia akan dibentuk ulang sehingga sejarah itu tisak otentik lagi, dan di situlah penjajah mengisi sejarah kita. Dari segi sejarah dan budaya ini berbahaya.

Kalau kita melihat dari segi pertahanan, maka Ibukota baru itu sangat rentan dari berbagai gangguan keamanan dari luar. Harus disadari bahwa Ibukota itu adalah benteng terakhir pertahanan bangsa, dalam perang kalau Ibukota jatuh maka negara telah diduduki. Melihat kondisi geografis Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan dekat dengan Singapura akan menjadi masalah tersendiri bagi keamanan negara. Apabila Ibukota saja tidak aman, maka negara juga selamanya tidak aman.

Kalau kita telusuri lagi dalam anggaran yang direncanakan oleh pemerintah senilai 447 triliun untuk biaya pembangunan Ibukota baru. Dalam anggaran belanja negara yang diusulkan oleh pemerintah kemarin, tidak terdapat anggaran untuk pembangunan Ibukota. Terverifikasi bahwa pemindahan Ibukota masih wacana belaka.

Alasan pemerintah ingin memindahkan Ibukota Jakarta ke Kalimantan hanya karena ingin adanya pemerataan pembangunan dan penyebaran penduduk yang selama ini telah terkonsentrasi di Jawa. Seharusnya alasan tersebut tidak muncul sebab, kalau Ibukota dipindahkan ke Kalimantan daerah-daerah lain bisa menuntut juga hal yang sama atas alasan pemerataan pembangunan.

Pemerataan pembangunan tidak perlu untuk memindahkan Ibukota, karena pemerataan pembangunan itu adalah kewajiban pemerintah yang diamanatkan oleh konstitusi, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum. Berarti rakyat Indonesia secara umum harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal pembangunan.

Sebenarnya menggunakan alasan pemerataan dalam pemindahan Ibukota, memperkuat dugaan bahwa pemerintah tidak serius untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Artinya ia gagal mewujudkan itu, lalu mencari cara untuk menyelamatkan kegagalan itu dengan "mengkambinghitamkan" Pulau Jawa.

Memang dari segi wilayah geografis kalimantan merupakan wilayah yang berada di tengah. Tentu itu sangat strategis untuk menjadi Ibukota, namun pemerintah tidak pernah mau melibatkan tokoh-tokoh baik yang kritik maupun yang mendukung untuk sama-sama membuat kajian dan penelitian tentang pemindahan Ibukota tersebut.

Seakan-akan rencana pemindahan Ibukota hanyalah rencana segelintir orang. Akhirnya, karena kurangnya kajian dan pembahasan yang secara menyeluruh, isu pemindahan Ibukota ini menjadi salah satu penyumbang keributan baru dalam masyarakat.

Apabila pemindahan Ibukota ini tidak serius dan hanya untuk memainkan citra dan mengulangi kebohongan seperti kebohongan tentang mobil Esemka, saya menyarankan untuk menghentikannya. Sebab bisa saja beberapa hari kedepan akan ada tuntutan Jakarta atau semacamnya, dan itu akan menambah masalah baru.

Ingat, sampai hari ini Papua masih bergejolak, Sumatera juga masih belum terima, Jakarta Sudah mulai menuntut, maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan saling menuntut, bahkan bisa berujung mengambil sikap untuk memisahkan diri.

Pemerintah wajib memeriksa diri, bagaimana keadaan ekonomi rakyat di berbagai daerah, bagaimana kondisi sosial masyarakat pasca Pilpres 2019, masyarakat masih banyak yang tidak terima atas dugaan kecurangan itu. Jangan sampai pemerintah sibuk mengurusi wacana tetapi mengabaikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Kalau itu terjadi akumulasi kekecewaan akan melahirkan letupan keras perlawanan masyarakat.

Semoga apa yang saya sampaikan ini akan menjadi bahan evaluasi diri kita khususnya pemerintah yang berkuasa. Dan semoga tidak akan terjadi hal-hal yang memecahkan persatuan dan kesatuan kita. NKRI adalah hasil kesepakatan bangsa Indonesia setelah diusulkan oleh M. Natsir (Masyumi).

Jadi tugas kita menjaga NKRI ini dan menjaga Pancasila supaya tetap menjadi perekat bagi bangsa Indonesia sampai kiamat yang akan datang.

Wallahualam bis shawab.
OLEH: DR. AHMAD YANI, SH.MH
 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.