SAYA kira, ada visi besar yang hendak disampaikan PDIP untuk masa depan bangsa ini oleh ketua umumnya, Megawati Soekarnopitri. Visi, yang membuat rakyat mau berkhidmat kepada penguasa, untuk bersama membangun bangsa.
Saya mengira ada rencana yang diutarakan, atau setidaknya menyampaikan konsepsi misi turunan untuk mencapai visi besar. Atau paling tidak sesekali kembali menyapa wong cilik, barisan strata sosial yang selama ini menjadi klaim perjuangan PDIP.
Tapi faktanya, Menjijikkan!. Mega justru sesumbar tentang jatah menteri PDIP harus yang terbanyak. Bahkan, tanpa malu melakukan ‘intervensi umum dihadapan publik kepada presiden’ simbol negara, kepala pemerintahan. Seolah, tak ada lagi wibawa Presiden NKRI di hadapan Mega. Dan benar, dalam forum tersebut Mega ingin menegaskan ulang bahwa Jokowi, adalah petugas partai PDIP.
Ini pidato paling sarkastis, paling egois, paling norak, tak mencerminkan karakter seorang negarawan. Padahal, selain menjabat Ketum PDIP, Mega juga pembesar di BPIP. Selayaknya, Mega memberi teladan kepada rakyat tentang sikap negarawan dan peduli terhadap perasaan rakyat. Sikap seorang Pancasilais sejati.
Saya mengira, Jokowi juga akan membangun narasi besar untuk merealisir janjinya kepada rakyat. Membangun hasrat dan semangat untuk bersatu, mengeliminasi perbedaan, dan berdiri tegak sebagai Presiden Republik Indonesia. Ternyata, pidato Jokowi juga hanya menegaskan Jokowi adalah Presiden PDIP, bukan Presiden segenap rakyat.
Jokowi, hanya fokus untuk memastikan janji kepada PDIP, untuk memberi jatah menteri terbanyak, di hadapan kader PDIP. Jokowi, sama sekali tak mengingatkan segenap kader PDIP, untuk bahu membahu merealisir janji politik mereka kepada rakyat.
Apa yang dipertontonkan pada ajang kongres PDIP di Bali, adalah konfirmasi bahwa demokrasi itu memang rusak. Para elite partai, hanya peduli pada kursi, jabatan dan kekuasaan.
Hingga pada tahapan pidato pun, sama sekali tak mengusik program untuk rakyat. Mereka, lebih sibuk mengamankan posisi dan jatah menteri. Sementara rakyat, tak masuk dalam pertimbangan kebijakan.
Rakyat, setelah menjadi korban pemilu curang dipaksa menonton drama seriosa politik, yang mengumbar pesta bagi-bagi jatah, bagi-bagi menteri. Tak ada yang peduli tentang kesulitan rakyat, kebutuhan rakyat, penderitaan rakyat, nestapa rakyat.
Pada saat pesta kongres itu memamerkan kepongahan, menebar kesombongan sebagai partai pemenang, kader PDIP justru dicokok KPK karena korupsi impor bawang. Luar biasa, sama sekali tidak memiliki sensitifitas pada derita rakyat, justru asyik menikmati fee impor miliaran rupiah.
Jika realitas yang mengaku paling Pancasilais, paling NKRI, adalah maling uang rakyat, maka aneh jika rakyat negeri ini masih terus percaya demokrasi. Demokrasi tak memberi sesuatu kepada rakyat, selain harapan dan kemudian ditinggalkan setelah pemilihan umum.
Oleh: Nasrudin Joha