Periode pertama Jokowi jadi Presiden, ia berdusta: 66 janji pilpres 2014 mangkrak. Hebatnya, ia terpilih lagi. Jadi yang tak beres adalah pendukung Jokowi.
Sekarang Indonesia bangkrut berkat Jokowi. Lalu, mau cetak uang (money printing). Sudah gawat.
Pada krismon 1998, Bank Indonesia (BI) mencetak uang merah pecahan Rp 100.000. Sewaktu uang plastik yang dicetak di Australia itu dikirim dari Aussy ke Indonesia, satu kapal uang merah itu dirampok di laut.
Sebanyak 16 tentara yang mengawal, tewas ditembak. Panglima ABRI nya waktu itu masih Wiranto sehingga Wiranto dianggap bertanggung jawab. Hilang sampai sekarang. Tapi uang merahnya beredar di pasar dan jadi money politics di pemilu.
BI lantas mengumumkan uang merah tetap laku dan bisa ditukar. Sekarang skenario perampokan ini mau diulang.
Beda dengan Amerika, printing money tidak menimbulkan inflasi karena dolar Amerika sudah menjadi barang dagangan di pasar international. Maka Fed mampu membuat Taper Tantrum dengan memompa USD untuk membanjiri pasar atau menyedotnya dengan menaikkan suku bunga acuan The Fed. Yang kena negara ketiga atau emerging market.
Bagaimana cara kerjanya?
Ini kisah Taper Tantrum dan cetak duit pada krisis nilai tukar September 2015. Karena rezim ini sudah terbukti rampok, cetak uang adalah keniscayaan.
Tanggal 19 september 2015, The Fed menyatakan batal menaikkan suku bunga acuan, tetap 0,25%. Alasannya, dari laporan Kompas, ditunda karena inflasi AS rendah 0,2%, dan angka pengangguran masih tinggi, 5,1%. “Bukan karena kuatir pasar goyah”.
Alasan kuatir pasar goyah itu, jelas The Fed separuh berdusta. Mengutip Richard Ebelling, penerima nobel dan pengamat, The Fed sengaja menciptakan masalah nilai tukar via JUB (jumlah uang beredar).
Bukti: sepanjang 2003-2008, The Fed terus menurunkan suku bunga USD jadi rendah dengan cara mencetak USD, tentu menambah jumlah uang beredar di pasar global, membanjiri pasar global dengan USD, membuat suku bunga rendah, lalu mendorong kredit murah itu ke investasi spekulatif di pasar modal. Jadi bukan untuk investasi yang meluaskan lapangan kerja.
Suku bunga rendah The Fed berlangsung sejak 2006. Kiatnya, sepanjang 2009 – 2015, The Fed memasok money printing itu ke uang beredar global di perbankan: dari 740 miliar USD pada 2007, menjadi 4 triliun USD pada 2015. Itu, pencetakan uang dolar oleh The Fed yang kata Shiller telah membuat harga USD jatuh di bawah nilainya.
Sekalipun begitu, pencetakan uang dolar itu tidak menimbulkan inflasi karena USD sudah berubah fungsi dari alat tukar menjadi komoditi pasar global. Spekulasi nilai tukar USD itu namanya Taper Tantrum.
Praktiknya memainkan issu pasar valuta asing di negara berkembang untuk profit taking menggunakan dana murah USD tadi. Kalau The Fed menaikkan suku bunga, namanya Taper Tantrum Off. Artinya, spekulasi berhenti karena dana murah terhenti. Dana murah ini, jatuh ke bank besar dan hedge fund, yang lalu mendongkrak indeks saham Dow Jones pada Januari 2015, tapi tidak memberikan pertumbuhan ekonomi signifikan bagi Amerika.
Taper Off kemudian dilaksanakan jika pertumbuhan ekonomi AS terus membaik, melalui rapat komite federal bank sentral AS (FOCM): Taper Off ditunda!
Kalau jadi Taper Off itu, dana murah tadi, yang digunakan investor di negara berkembang untuk spekulasi di bursa, mudik ke The Fed lagi. Pulang kampung. Praktis nilai tukar rupiah waktu itu terjerembab ke tahap panik.
Spekulasi dana murah ini oleh Robert Shiller, pengamat dan penerima Nobel, disebut manipulasi di “Fraud, Fools, and Financial Market”, 17 September 2015. Untung tak jadi di Taper Off, sehingga rezim Presiden Jokowi punya kesempatan melakukan economic recovery waktu itu.
Sebaliknya, karena Taper On, maka spekulasi jalan terus, nilai tukar rupiah terus melemah.
Faktor manipulasi dan volatilitas mempengaruhi dana murah ini, rawan terhadap kenaikan suku bunga. Jika The Fed menaikkan suku bunga, beban dana murah meningkat, sangat mudah membuat pasar panik, dan kenaikan suku bunga The Fed akan memicu kekacauan sektor keuangan secara keseluruhan.
Shiller melihat The Fed lebih mementingkan ketakutannya terhadap gejolak Wallstreet daripada pentingnya pertumbuhan ekonomi AS. Di luar itu, The Fed masih menempatkan kondisi ekonomi Tiongkok yang memburuk sebagai kambing hitam penundaan Taper Off.
Tapi jika menggunakan analisis politik, krisis 2015 itu by design, jelas telah menggagalkan ekonomi Tiongkok menjadi raja ekonomi dunia waktu itu. Sebab, hanya 8 bulan sejak berdirinya AIIB yang dimotori Presiden Tiongkok, Xi Jinping, diresmikan 24 Oktober 2014.
AIIB adalah bank kreditur ketiga setelah BRICK (Afrika) dan Broncho Del Sur (Amerika Latin) yang diinisiasi Xi, yang berdiri sebagai perlawanan terhadap dominasi lembaga keuangan Barat (World Bank, ADB, IMF).
Awal 2015, AIIB heboh karena IMF dan ADB masuk AIIB. Issunya, Yuan akan masuk mata uang dunia dan itu akan menggantikan USD, karena ekspor Tiongkok telah unggul dari Amerika, pertumbuhan ekonomi dunia telah pindah dari Barat (Amerika) ke Timur (Tiongkok).
Karena issu itu, pasar bursa Shanghai diserang tanggal 6, 7, 8 Agustus 2015. Sebanyak Rp 36.000 triliun menguap dari pasar modal Shanghai dalam tiga hari serangan nilai tukar waktu itu, dan sampai kini masih belum pulih. Tiongkok harus merevaluasi Yuan dan assetnya, menurunkan proyeksi pertumbuhannya menjadi 7,1%, realisasinya 6,7%. Sejak itu sampai kini, pertumbuhan ekonomi Cina terus memburuk, bahkan kini minus 4,3% akibat Covid-19. Tetapi diduga, Beijing telah memenangkan perang dagang dengan Trump setengah tahun terakhir.
BI Cetak Rp 600 T
Kiat money printing ala Amerika itu, quantitative easing, tak bisa digunakan oleh BI, karena rupiah semata alat pembayaran, bukan komoditi. Tiap penambahan jumlah uang beredar oleh money printing langsung berakibat push-up inflatoir. Saya dengar Said Abdullah, Ketua Banggar DPR mengemukakan bahwa BI mencetak uang Rp 600 Triliun.
Tapi saya yakin, money printing juga dilakukan secara silent dengan modus perampokan uang negara seperti halnya uang merah.
Penulis : Djoko Edhi Abdurrahman