Seminggu terakhir, praktis bangsa ini memasuki sebuah era yang gaduhnya semakin menjadi-jadi. Hampir semua kebijakan pemerintah terutama di bidang politik dan hukum serta ekonomi mendapat perlawanan dan kritik keras dari publik.
Ada sebagian yang mendukung, namun dapat dipastikan bahwa pihak yang berseberangan jauh lebih besar dari yang mendukung kebijakan radikal pemerintah di bidang politik, hukum, dan ekonomi.
Saya harus menyatakannya sebagai kebijakan radikal karena memang efek dari kebijakan tersebut justru mengakibatkan kegaduhan baru dan bukan membawa bangsa ini kepada kebaikan. Di bidang politik, Pemerintah dengan tanpa berpikir dampaknya memaksakan Presidential Threshold atau syarat pengajuan calon presiden 2019 sebesar 20-25%.
Di bidang hukum, pemerintah mengeluarkan Perpu tentang Ormas dan di bidang ekonomi, tentu masih dengan lagu yang sama klaim ekonomi tumbuh tapi fakta tak terbantahkan utang yang semakin menggunung dan saat ini Pemerintah sedang mencari utangan baru meski publik telah memberikan respons negatif atas kebijakan tersebut. Ironisnya, Pemerintah merasa benar dengan berutang banyak. Sungguh logika rezim pemerintah ini semakin tidak sehat dan perlu pemeriksaan kesehatan jiwa.
Pada kesempatan kali ini, kita fokus membahas tentang Presidential Threshold dengan kalkulasi yang penuh risiko terhadap bangsa, terhadap demokrasi dan terhadap prinsip sebuah pemilu yaitu prinsip keadilan serta kesamaan hak dipilih dan memilih.
Meski penerbitan Perpu juga sangat penting untuk dibahas saat ini karena memang menyimpang dari semangat penerbitan Perpu. Perpu itu sebuah instrumen yang dimiliki oleh Pemerintah mengantikan hak veto yang tidak dimiliki Presiden meski kita menganut sistem presidensial.
Perpu itu adalah alat pemerintah untuk mengatasi kegentingan dan masalah yang sedang terjadi. Ironisnya, sekarang Perpu Ormas keluar di saat tidak ada kegentingan, namun justru mengakibatkan kegentingan. Ini adalah ketidakwarasan dari sebuah pemerintah.
Presidential Threshold sebesar 20% saat ini dipaksakan oleh Pemerintah untuk dimasukkan di dalam RUU Pemilu yang sedang dibahas pemerintah bersama DPR. Syarat itu nampak sangat aneh dan mengada-ada karena menabrak dan mengabaikan Keputusan Makhkamah Konstitusi tahun 2013 tentang Pemilu Serentak.
Semogra Refly Harun yang saat ini duduk sebagai salah satu Hakim Konstitusi mengingatkan Pemerintah, karena dulu Refly adalah pakar hukum tata negara yang berbicara tentang Presidential Threshold 0%.
Presdiential Threshold selain mematikan prinsip keadilan dan kesamaan hak di dalam pesta demokrasi, juga sarat akal-akalan pemerintah terutama Jokowi sebagai seorang presiden yang hampir dapat dipastikan akan maju menjadi Capres 2019 melanjutkan harapanya menjadi presiden dua periode.
Harapan itu lantas membuat Jokowi dan pemerintahannya mencari jalan untuk kemenangannya di 2019, maka dirancanglah Presidential Threshold 20% agar menutup peluang calon yang berpotensi mengalahkan Jokowi 2019 nanti.
Mungkin dalam pikiran Jokowi dan pemerintahannya, (ini analisis saya yang mungkin salah mungkin juga benar) bagi Jokowi jika Presdiential Threshold dipatok sebesar 20% dan melihat komposisi koalisi sekarang, hampir daat dipastikan bahwa Jokowi hanya akan kembali berhadapan dengan Prabowo yang berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pasangan Prabowo dalam hitungan Jokowi mungkin akan mudah dikalahkan, karena beberapa faktor seperti : Pertama, Prabowo tidak akan didukung oleh kekuatan internasional atas rekam jejak Prabowo masa silam.
Kedua, koalisi dengan PKS akan semakin melemahkan dukungan internasional dan dukungan lokal. Ketiga, Prabowo dianggap bisa ditekan dan dipersalahkan atas beberapa dugaan kredit perusahaan milik Prabowo.
Kita semua tahu bagaimana rezim ini mampu memperalat penegakan hukum untuk meghabisi citra lawan politik. Itu beberapa contoh saja yang ungkin mendasari mengapa Jokowi sangat suka bila berhadapan dengan Prabowo head to head tapi takut untuk berhadapan dengan calon lain sebagai calon alternatif.
Maka syarat Presidential Threshold itu saya yakini murni untuk menutup peluang calon potensial lain yang lebih baik dari Jokowi maka Jokowi akan terhindar dari kekalahan. Sungguh strategi yang pintar bahkan mendekati licik.
Kemungkinan untuk calon tunggal juga sangat terbuka atau digiring calon boneka sebagai pesaing 2019. Andai Gerindra dan PKS pecah kongsi maka hampir dapat dipastikan tidak akan calon lain yang berhadapan dengan Jokowi. Maka di situlah calon tunggal resmi terjadi atau setidaknya mereka akan menciptakan calon boneka sebagai pelengkap demokrasi. Begitulah Pemerintah ini menyusun langkah siasat akal-akalan untuk memenangkan Pemilu Presiden 2019 nanti.
Menutup peluang calon alternatif yang potensial seperti Gatot Nurmantyo, Panglima TNI; Tuan Guru Bajang, Gubernur NTB; Chairul Tanjung, pengusaha sukses; Agus Harimurti Yudhoyono; dan Soekarwo, Gubernur Jawa Timur.
Tidak alasan lain yang bisa dibernarkan atau diterima akal sehat atas argumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Jokowi, Mendagri Tjahyo Kumolo maupun Partai Politik pendukung pemerintah. Alasan yang selalu diucapkan adalah untuk memperkuat sistem presidensial yang kita anut. Ini jelas tidak bisa dibenarkan dan tidak memenuhi kaidah akademis.
Menempatkan Presdiential Threshold 20% untuk memperkuat sistem presidensial adalah sebuah kebohongan politik dari pemerintah. Faktanya sekarang, Jokowi adalah hasil dari Presidential Threshold 20% dan sangat kuat di parelemen, tapi negara tidak maju dan justru semakin menurun dari sebelumnya.
Argumen pemerintah sebetulnya sudah terpatahkan dengan bukti kualitas kinerja pemerintahan ini. Yang kedua, cara memperkuat sistem presidensial adalah bukan dengan menetapkan syarat Presidential Threshold sebesar 20% akan tetapi mencabut hak-hak DPR seperti hak budget, hak penyelidikan. Berikan DPR hak hanya untuk pengawasan, menyatakan pendapat dan memberhentikan Presiden, maka dengan sendirinya sistem presidensial akan kuat.
Kami mengingatkan pemerintah, khususnya kepada Jokowi agar mementingkan masa depan bangsa daripada kepentingan kekuasaannya yang sesungguhnya sudah rapuh. Polarisasi publik atas Pilpres 2014 lalu belum usai, masih panas dan membara.
Kita semua bisa bayangkan bangsa ini 2019 nanti jika pilpres masih dengan calon yang sama 2014 lalu. Saya yakin membenturkan besi yang membara akan menghasilkan api. Inikah yang kita mau terjadi pada bangsa yang kita cintai ini hanya karena nafsu berkuasa dari pemerintah dan Jokowi?
Sadarlah semua…. Bangsa ini jauh lebih penting dari siapa pun, jangan sampai perang saudara terjadi.
Jakarta, 17 Juli 2017
Oleh : Ferdinand Hutahaean
Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Wakil Sekjend Bela Tanah Air