Sepanjang 2015-2017, Proyek Infrastruktur Jokowi Picu 1.361 Konflik Lahan
Sepanjang 2015-2017, Proyek Infrastruktur Jokowi Picu 1.361 Konflik Lahan

Sepanjang 2015-2017, Proyek Infrastruktur Jokowi Picu 1.361 Konflik Lahan

Sejumlah pengerjaan proyek infrastruktur ditemukan kerap kali berujung konflik dengan masyrakat pemilik lahan



JARILANGIT.COM - Capres petahana Jokowi mengklaim, tidak ada konflik dengan masyarakat saat pembebasan lahan untuk proyek pembangunan infrastruktur.

Hal tersebut disampaikan Jokowi saat menjawab pertanyaan panelis soal strategi bagaimana menekan potensi konflik dari setiap pengerjaan proyek infrastruktur, di acara debat kedua Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019) malam.

"Dalam 4,5 tahun terakhir hampir tidak ada konflik dalam pembebasan lahan untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur negara," kata Jokowi.

Namun, klaim Jokowi tersebut bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Dimana, sejumlah pengerjaan proyek infrastruktur ditemukan kerap kali berujung konflik dengan masyrakat pemilik lahan.

Adhityani Putri dari Yayasan Indonesia Cerah mengatakan, bahwa konflik akibat pembebasan lahan masih kerap terjadi.

"Pernyataan itu (tidak ada konflik) sama sekali tidak benar. Pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktu energi, PLTU batu bara menimbulkan konflik hebat di masyarakat," katanya.

Peneliti Auriga, Iqbal Damanik juga mengatakan, tak benar bahwa pembangunan infrastruktur tidak menyebabkan konflik.

Sementara berdasarkan catatan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2017 maupun 2018, konflik akibat infrastruktur justru menempati posisi ketiga ketimbang pembangunan dalam bidang sumber daya alam (SDA) lain.

Berikut datanya:

Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik. Sektor properti menempati posisi kedua dengan 199 (30 persen) jumlah kejadian konflik.

Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik (14 persen), disusul sektor pertanian dengan 78 (12 persen) kejadian konflik.

Seterusnya sektor kehutanan dengan jumlah 30 (lima persen) konflik, sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 (empat persen) konflik, dan terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22 (tiga persen) kejadian konflik yang terjadi sepanjang 2017.

Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK (2015-2017), telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria. Sementara itu, 2018, konflik lahan terkait infrastrukur dicatat sejumlah 16 kasus. Proyek-proyek tersebut semuanya berujung pada sengketa lahan.

Contoh lainnya adalah pembangunan PLTU Teluk Sepang di Bengkulu, dan pembangunan Geotermal di Gunung Talang terjadi konflik dengan masyarakat. Bahkan, di Gunung Talang ada masyarakat yang dikriminalisasi dan melibatkan TNI dalam pembersihan lahan.

Proyek Infrastruktur Jokowi Jadi Biang Konflik

Selama masa pemerintahan Jokowi-JK, setidaknya ada sepuluh konflik lahan yang terjadi karena proyek infrastruktur.

Salah satunya, terjadi pada Kamis 17 November 2016, dimana ratusan petani Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat menggelar aksi untuk menolak proses pengukuran lahan pertanian yang akan disulap menjadi Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Warga mengaku tak ada kesepakatan sebelumnya.

Selain menembaki petani dengan gas air mata, polisi juga menangkap tujuh orang petani. Serangan polisi terhadap massa aksi itu mengakibatkan tanaman di sekitar 70 hektare sawah dan dua saung milik petani rusak.

Selama masa pemerintahan Jokowi-JK sebagaimana dihimpun Tim Riset Tirto, ada juga lima proyek pembangunan dan perluasan bandara yang diwarnai konflik lahan dengan warga. Selain yang di Desa Sukamulya, pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo di Yogyakarta juga berujung konflik dengan petani.

Sebab lahan tempat bandara akan didirikan merupakan lahan produktif para petani. Konflik antara petani dan pihak Angkasa Pura ini berujung pada kriminalisasi petani dan tindakan kekerasan kepada warga.

Perluasan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar juga diwarnai sengketa lahan. Hal ini terjadi penguasaan lahan secara sepihak oleh bandara. Pun begitu dengan perluasan Bandara Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Konflik terjadi karena warga bermasalah dengan ganti rugi.

Pembangunan Bandara Dominique Edward Osok di Sorong, Papua juga memicu konflik. Demi pembangunan bandara ini, masyarakat lokal harus tergusur dari tanahnya.

Tak hanya bandara, pembangunan waduk dan pembangkit listrik juga menjadi proyek yang menghasilkan konflik agraria. Di Sumedang, Jawa Barat misalnya, pembangunan Waduk Jatigede menghilangkan hak-hak ekonomi dan sosial warga karena adanya penggenangan. Di Purwakarta, Waduk Cirata juga memicu konflik antara warga dengan Perum Perhutani.

Di Batang, Jawa Tengah, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) membuat ratusan hektare sawah tergusur. Sementara di Daratei Mataloko, NTT, pembangunan pembangit listrik tenaga panas bumi memberikan dampak lingkungan yang buruk bagi warga di sekitaran proyek.

Diketahui, pembangunan infrastruktur yang kerap berujung pertikaian itu tak semuanya dikerjakan pemerintah lewat perusahaan-perusahaan pelat merah. Sebagian besar proyek menggandeng pihak swasta dengan investor hingga ke negeri Cina.

Bandara di Majalengka contohnya, investor dari pembangunan bandara itu adalah perusahaan asal Cina bernama China Fortune Land Development, Co. Ltd. Ia adalah perusahaan pengembang berbasis di Beijing, yang fokus dalam membangun kota-kota industri.

Dana untuk membangun Waduk Jatigede juga berasal dari pinjaman Loan Bank Exim China. Total dana untuk membangun waduk ini senilai Rp4 triliun. Sebesar 90 persennya berasal dari Bank Exim, sedangkan sisanya dari pemerintah. (Alfian Risfil/ts)

 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.