Oleh: Mark Green
Inisiatif Belt and Road China mengancam kemampuan negara-negara miskin dan berkembang untuk mencapai kemandirian.
Kini, aset strategis negara, seperti sumber daya alam, hak akses pelabuhan, dan sejenisnya, sekarang ditargetkan oleh kreditor sebagai jaminan dalam bertransaksi dengan predator BRI.
Minggu lalu, para pemimpin dari seluruh dunia datang ke Beijing untuk menghadiri Forum Sabuk dan Jalan (Belt and Road) kedua China, sebuah konferensi untuk memamerkan inisiatif diplomatik kebanggaan China.
Para pemimpin ini harus memahami dengan jelas, bahwa upaya China untuk menggunakan Belt dan Road Initiative (BRI) untuk memperluas risiko pengaruh geopolitik dan ekonomi membebani negara-negara berkembang dengan utang, dan secara bersamaan juga meningkatkan ketergantungan mereka pada China.
Fakta bahwa negara-negara miskin bergulat dengan utang bukanlah hal baru, tetapi setelah berhasil menjalani bertahun-tahun perjuangan untuk mengurangi beban utang mereka termasuk melalui program pengampunan utang terbesar dalam sejarah, dimulai di bawah Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton dan diteruskan oleh Pemerintahan George W. Bush dan komunitas internasional—mereka sekali lagi masuk ke zona merah.
Di banyak negara yang rentan, banyak utang yang membebani bersumber dari satu negara yaitu China. Menurut sebuah studi oleh Dana Moneter Internasional (IMF), dari 2013 hingga 2016, kontribusi China terhadap utang publik negara-negara miskin yang dililit utang hampir dua kali lipat; dari 6,2 persen menjadi 11,6 persen. Dan kini, pinjaman dari China semakin bertambah melalui BRI.
Memperhatikan kurangnya kelayakan ekonomi dari beberapa proyek BRI, banyak pengamat curiga bahwa inisiatif ini sebagian dimotivasi oleh keinginan China untuk menstimulasi ekonominya sendiri, mendapatkan aset strategis, dan mengubah akses ekonominya menjadi pengaruh politik dan strategis di negara penerima.
Dalam skenario seperti itu, manfaat ekonomi dari proyek-proyek yang digerakkan oleh utang China untuk perkembangan negara-negara penerima patut direnungkan. Dan kurangnya transparansi dalam pinjaman China mengaburkan risikonya kepada negara-negara penerima, banyak di antaranya sudah rentan terhadap atau sedang menderita kesulitan keuangan atau fiskal.
Menyembunyikan risiko tidak menghilangkan konsekuensinya, dan ketika negara gagal membayar kembali pinjaman untuk proyek bernilai miliaran dolar, hal itu dapat mengakibatkan hilangnya aset strategis, rintangan besar terhadap pembangunan ekonomi, dan hilangnya kedaulatan.
Sebagai contoh, karena tidak mampu membayar utang China yang digunakan untuk membangun pelabuhan baru di kota Hambantota, pada tahun 2017, Sri Lanka menandatangani kontrak sewa selama 99 tahun sehingga China bisa bebas menggunakan pelabuhan tersebut, yang berpotensi sebagai pangkalan strategis untuk angkatan laut China.
Di Djibouti, utang publik telah meningkat menjadi sekitar 80 persen dari PDB negara itu (dan China memiliki bagian terbesar), menempatkan negara itu pada risiko tinggi tekanan utang. Penempatan pangkalan militer China pertama dan satu-satunya di luar negeri yang berlokasi di Djibouti telah menjadi konsekuensinya, bukan kebetulan.
Di tempat lain di Afrika, Burundi, Chad, Mozambik, dan Zambia semuanya berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi terhadapnya, di mana situasi praktik pemberian pinjaman predator China semakin memburuk.
Sebaliknya, negara-negara donor tradisional yang tergabung dalam Paris Club, sekelompok kreditor berdaulat termasuk Amerika Serikat dan 21 negara lainnya, telah berjanji untuk mendukung hubungan yang berbeda dengan negara-negara miskin.
Anggota Paris Club telah berkomitmen untuk memberikan solusi pembayaran berkelanjutan untuk negara-negara debitur dan untuk memberikan keringanan utang yang tepat, jika negara debitur melakukan reformasi untuk menstabilkan dan memulihkan situasi ekonomi makro dan keuangannya.
China tidak mendukung praktik peminjaman yang berkelanjutan dan transparan yang diakui secara global; di mana Paris Club akan menawarkan transparansi dan kesinambungan keuangan, China akan memperdagangkan utang untuk aset strategis suatu negara.
Ia berdiri di luar upaya internasional terutama yang didorong melalui IMF dan Bank Dunia untuk mempromosikan transparansi, yang meningkatkan pembuatan kebijakan, mencegah krisis utang, dan mencegah korupsi.
Mengingat banyaknya bukti bahwa pinjaman China menimbulkan beban pada negara-negara yang rentan secara global, sudah saatnya para pemimpin dunia untuk memastikan bahwa semua proyek mematuhi praktik terbaik yang diterima secara internasional dalam hal transparansi keuangan, bahwa pemberi pinjaman mengadopsi standar perburuhan, tata kelola, dan lingkungan. (Foreign Policy)