Hingga Kini Terbang di Langit Kepulauan Riau, Harus Minta Izin Otoritas Singapura
Hingga Kini Terbang di Langit Kepulauan Riau, Harus Minta Izin Otoritas Singapura

Hingga Kini Terbang di Langit Kepulauan Riau, Harus Minta Izin Otoritas Singapura

Dari sisi ekonomi ruang udara Indonesia yang dikelola Singapura disebut sebagai jalur ‘gemuk’ yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan.



Kedaulatan Udara Indonesia hanyalah basa basi. Saat ini publik tengah ribut urusan kedaulatan udara, ketakutan akan dikuasainya ruang udara kita oleh asing dengan potensi masuknya maskapai asing melayani domestik. Aneh juga kenapa baru ribut sekarang ?

Padahal sudah sejak awal kemerdekaan sebagian ruang udara kita dikuasai asing. Dimana? Di atas kepulauan Riau, Batam termasuk Natuna. Baik penguasaan dari sisi sipil ataupun militer.

Penguasaan Udara Sipil Komersial oleh Asing

Hingga kini setelah 74 tahun Indonesia merdeka, seluruh penerbangan di langit Kepulauan Riau, dari Natuna ke Batam atau dari Tanjungpinang ke Pekanbaru, tetap harus minta izin ke otoritas penerbangan Singapura.

Mengapa Singapura bisa punya hak mengatur ruang udara yang jelas-jelas masuk ke wilayah Indonesia?Jawabannya ada pada konvensi International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada 1946.

Kala itu forum ICAO mempercayakan Singapura dan Malaysia untuk mengelola FIR Kepri. Singapura memegang kendali sektor A dan C, Malaysia mengendalikan sektor B. FIR (Flight Information Region)

Alasannya sederhana, Singapura yang saat itu masih koloni Inggris dianggap mumpuni secara peralatan dan sumber daya manusia. Lagipula, otoritas Singapura yang saat itu paling dekat dengan FIR Kepri.

Namun Singapura dan Indonesia tentu punya kepentingan masing-masing. Dari sisi ekonomi misalnya, ruang udara Indonesia yang dikelola Singapura disebut sebagai jalur ‘gemuk’ yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan.

Berdasarkan mandat ICAO di Dublin itu pula, Singapura tak hanya berwenang mengatur lalu lintas udara di langit Kepulauan Riau, tapi juga berhak memungut bayaran dalam Dolar AS dari seluruh maskapai penerbangan yang melintasi FIR itu.

Sebagian dari bayaran yang diterima Singapura, diserahkan kepada Indonesia. Saat ini tiap pesawat yang melintas di wilayah FIR bayar US $ 6. Padahal setiap menit, untuk satu jalur saja, ada puluhan pesawat yang lewat. Kalau sehari semalam, 24 jam, sudah dapat berapa itu ya? Kompensasi ke Indonesia hanya 50 sen. Bayangkan berapa yang akan didapat Indonesia kalau FIR kita pegang sendiri.

FIR Makasar saja melayani rata rata 10.000 jalur penerbangan per hari Potensi Pendapatan Nasional Bukan Pajak bagi Indonesia ini yang diabaikan selama puluhan tahun. Ngitung gobloknya nih untuk satu jalur ruang udara (ruang udara itu bertingkat tingkat)

Berdasar asumsi perhitungan FIR Makasar karena data FIR Natuna belum ketemu, tetapi tentu lebih karena jalur Kepri jauh lebih sibuk dari Makasar maka dapat dihitung US$ 6 x 10.000 x 365 = USD 21.900.000 per tahun untuk satu jalur penerbangan saja. Indonesia kaya ya? Sayang masih disia-siakan.

Padahal untuk inipun sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016, di mana pemerintah berhak memungut tarif pelayanan jasa navigasi pesawat domestik maupun internasional. Namun untuk menggenjot kedaulatan dan penghasilan secara pelaksanaannya ?


Kedaulatan Udara Militer

Selain masalah kontrol penerbangan yang masih belum tuntas ada lagi tentang pelanggaran kedaulatan udara Indonesia khususnya yang dilakukan oleh Militer Singapura. Pesawat tempur Singapura kerap terlihat berlatih di utara Pulau Bintan yang berdekatan dengan Singapura.

Singapura beralasan, mereka berlatih di wilayah latihan militer atau MTA (military training area), yakni zona udara Indonesia yang dapat digunakan Singapura untuk melakukan latihan militer karena negara kota itu tak memiliki ruang udara yang cukup luas untuk berlatih.

Akar Pertikaian

Benih pertikaian udara antara Indonesia dan Singapura ini bermula pada 21 September 1995, di era pemerintahan Soeharto. Ketika itu kedua negara menandatangani perjanjian Military Training Area.

Ketika meneken kesepakatan itu, Indonesia diwakili oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjat, dan Singapura diwakili Menteri Pertahanan dan Deputi Perdana Menteri Tony Tan. Perjanjian itu kemudian diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1996 yang ditandatangani 2 Februari 1996 oleh Soeharto.

Sejak itu, Singapura berhak menggunakan dua wilayah udara Indonesia untuk kepentingan militer mereka, yakni MTA 1 dan MTA 2. MTA 1 membentang dari barat daya Singapura hingga Tanjungpinang dan utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Di utara Bintan itulah sering terlihat pesawat-pesawat tempur Malaysia berlatih hingga kini ketika masa berlaku MTA telah habis. Sementara MTA 2 membentang mulai timur Singapura sampai Kepulauan Natuna yang juga masuk Kepulauan Riau.

Di MTA 1, Singapura dapat menerbangkan 15 pesawat tempur per hari. Dalam jangka waktu 24 jam, jumlah penerbangan Angkatan Udara negara itu tak boleh lebih dari 40. Di MTA 2, Singapura tidak boleh menerbangkan lebih dari 20 pesawat tempur per hari. Jumlah penerbangan dibatasi 60 kali dalam 24 jam.

Perjanjian MTA Ini Memiliki Dua Aturan Penting Lain

Pasal 3 mengatur, pesawat tempur Singapura yang masuk ke dua area militer itu akan diatur oleh ATC Singapura. Sementara Pasal 5 mengatur kesepakatan ini hanya berlaku selama lima tahun. Saat kesepakatan MTA berakhir tahun 2001, Soeharto tak lagi menjabat. Kelanjutan MTA pun jadi abu-abu. Ini yang jadi pangkal persoalan perang urat saraf Indonesia-Singapura di udara.

Enam tahun kemudian, April 2007 bertempat di Tampaksiring, Bali, Indonesia dan Singapura kembali membuat kesepakatan hampir serupa. Kali ini diberi nama Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau DCA (Defence Cooperation Agreement).

Saat itu Indonesia diwakili oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, dan Singapura oleh Menteri Pertahanan Teo Chee Hean. DCA mengatur lebih banyak hal dibanding MTA. Perjanjian baru ini mengikat kedua negara pada enam ruang lingkup, salah satunya mengatur akses bersama pada wilayah dan fasilitas latihan tempur tertentu.

Pasal 3 huruf b DCA menyatakan, Indonesia akan mengizinkan Angkatan Udara Singapura untuk melaksanakan pengecekan teknis dan kelaikan terbang, serta berlatih terbang di wilayah udara Indonesia yang disebut Alpha Satu.

Pesawat tempur Singapura juga diizinkan berlatih di wilayah Indonesia yang disebut Alpha Dua. Kapal perang Singapura bahkan diperbolehkan melakukan manuver laut dan berlatih dengan peluru tajam di kedua area tersebut, termasuk di wilayah yang disebut Area Bravo.

Selain itu, Angkatan Laut Singapura diizinkan melakukan latihan tembak dengan peluru kendali sebanyak empat kali dalam setahun di Area Bravo. Semua itu dapat dilakukan Singapura jika telah mendapat persetujuan Tentara Nasional Indonesia.

Ratifikasi Tertunda

Empat bulan usai pertemuan pemerintah RI dan Singapura soal DCA ini, mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim mengemukakan kekhawatirannya. Ia mengungkit kerugian Indonesia ketika MTA diterapkan.

Menurut Chappy, MTA saja kerap mengganggu penerbangan domestik RI, sebab wilayah udara yang mestinya dapat dilintasi pesawat-pesawat Indonesia jadi digunakan Singapura untuk berlatih militer.
Akibatnya pesawat sipil harus mencari jalan memutar lebih jauh.

Kerugian dirasa akan lebih banyak jika DCA diratifikasi Indonesia. Pada akhirnya DCA urung diimplementasikan karena DPR selaku lembaga legislatif RI, menolak meratifikasinya.

Perlu diketahui pula Singapura juga menjalin perjanjian area latihan militer dengan Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Belakangan, mereka bahkan berhasil membuat kesepakatan serupa dengan India, Jerman, dan Afrika Selatan.

Berdasar pertimbangan tidak cukupnya ruang udara militer inilah tak heran Singapura terus berupaya agar Indonesia mengakui MTA, bahkan ngeyel menggunakan kesepakatan yang dianggap RI kadaluwarsa itu.

Jadi bila hingga kini kedaulatan udara kita masih belum kita kuasai sepenuhnya, termasuk nyata telah hilangnya sumber pundi pundi kekayaan RI yang “dirampok secara legal”, sementara persoalan makin bertambah dengan adanya potensi masuknya sipil asing maka baru bicara dengan gagah NKRI Harga Mati dan kedaulatan harus milik sendiri sekarang maka aku cuma bilang Jangan jadi Pahlawan Kesiangan, kemarin-kemarin kemana aja bro? Niat ada, pelaksanaannya? NOL BESAR!

Buktinya sampai sekarang kedaulatan udara kita masih di tangan asing, duit berjuta juta dollar bila dihitung sejak puluhan tahun disia-siakan begitu saja. Ayo kalau memang serius, rebut dulu FIR dari Singapura.

Betul, usaha juga sudah dari dulu dimulai tapi hingga kini belum ada hasil. Juga mulai perundingan kembali Millitary Training Area..duit gede tuh..MTA juga bisa dikompensasikan dengan keterbukaan duit korupsi yang disimpan disana kan?

Sumber bacaan :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181211210149-20-352903/riwayat-singapura-kuasai-ruang-udara-di-natuna

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180504142439-20-295716/menhan-janji-indonesia-perlahan-ambil-alih-fir-dari-singapura
 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.