Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Harta Bersih yang dianggap sebagai penghasilan.
Dengan PP ini, maka semua harta yang dimiliki oleh para wajib pajak (WP) harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Hal ini dilakukan pemerintah dalam rangka menggenjot penerimaan pajak, mengingat tax amnesty sendiri tak berjalan sukses.
“Kita tahu PP ini memang lanjutan dari UU Pengampunan Pajak. Apalagi program amnesti pajak juga tak berjalan sukses. Padahal dibuat semua orang bisa ikut amnesti, ternyata yang ikut cuma 980 ribu. Tentu dianggap gagal dari potensinya yang banyak,” ungkap pengamat pajak, Yustinus Prastowo di Jakarta, Jumat (22/9).
Cuma sayangnya, PP ini belum apa-apa direspon negatif masyarakat. Sehingga adanya kegaduhan baru.
“Anehnya, pemerintah sendiri belum melakukan mitigasi terlebih dahulu. Sehingga jika tak ada tindakan persuasif dari pemerintah bisa jadi PP ini tak akan sukses,” jelas Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Untuk itu dia berharap pemerintah harus melakukan agar PP ini perlakuan di lapangannya seragam. Karena jika tidak hanya akan menciptakan dispute baru yang implikasinya berujung ketidakpercayaan publik terhadap DJP.
“Apalagi ada potensi moral hazard dari PP ini. Saya minta dilakukan pengawasan internal serta pemanfaatan data yang akurat,” jelasnya.
Dia berharap, pihak DJP sendiri harus mempunyai target yang jelas, spesifik, dan tata akurasi yang tinggi. Sehingga tidak membuat potensi sengketa pajak di kemudian hari.
“Kalau begitu akan menimbulkan biaya yang lebih mahal lagi. Baik dari DJP maupun WP sendiri,” kata dia. (Ak)