JARILANGIT.COM - Isu RUU Pertanahan seolah sengaja dibuat tenggelam. Kalah heboh dibandingkan RUU KPK. Namun jika disahkan, RUU Pertanahan membuat rakyat tersingkir dari tenah kelahirannya sendiri.
Seperti disampaikan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Ia menilai, ada delapan persoalan mendasar dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan.
"Pertama, RUU itu bertentangan dengan UUPA 1960 (UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria) meski disebut akan melengkapi dan menyempurnakan yang belum diatur dalam undang-undang tersebut," ujar Kartika.
Permasalahan kedua, yakni RUU Pertanahan secara menyimpang dan dengan kuat menerjemahkan Hak Menguasai dari Negara (HMN) menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL).
Padahal, menurutnya, HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domain verklaring yang telah dihapus dalam UUPA 1960.
Domain verklaring adalah pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak bisa membuktikan kepemilikan tanah tersebut.
Ketiga, RUU Pertanahan memprioritaskan Hak Guna Usaha (HGU) untuk diberikan kepada pemodal besar atau pengusaha tanpa mempertimbangkan sejumlah aspek, semisal luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan.
"Lalu keempat, RUU Pertanahan juga disebut tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi publik dan putusan Mahkamah Agung," ucap Kartika.
"Masalah kelima, RUU Pertanahan mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar atau perkebunan apabila melanggar ketentuan luas alas hak," lanjut dia.
Keenam, seperti diungkapkan Kartika, RUU tersebut menyempitkan agenda dan spirit reforma agraria.
Kartika menilai pemerintah hanya menganggap RUU Pertanahan sebagai program penataan aset dan akses. Padahal, lanjut dia, banyak permasalahan yang tidak dijamin untuk diselesaikan dalam RUU itu.
Dlansir dari kompas, menurut Kartika, rumusan-rumusan baru, yakni hak atas tanah, pendaftaran tanah, bank tanah dan semacamnya juga tidak menjamin reforma agraria dan sangat parsial.
Selain itu, masalah ketujuh, tidak adanya upaya pemerintah yang tertuang dalam RUU untuk menyelesaikan konflik agraria lantaran hanya mengutamakan win-win solution atau pengadilan pertanahan.
Terakhir, ia juga menyoroti rumusan pendaftaran tanah yang tidak diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia. Lebih lanjut, permasalahan tidak ada upaya melindungi hak masyarakat adat serta pembentukan bank tanah juga dinilai tidak sejalan dengan agenda reforma agraria.
"Tidak memenuhi syarat secara ideologis, sosiologis dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Bahkan RUUP nyata-nyata berwatak kapitalisme neoliberal," pungkas Kartika.