Para ahli HAM PBB yang tergabung dalam lembaga independen Hak Asasi Manusia PBB United Nations Human Rights (OHCHR) memprotes Indonesia mengenai penetapan tersangka pada Veronica Koman dan beberapa orang lainnya yang melaporkan demonstrasi di Papua dan Papua Barat.
Dalam situs resminya www.ohchr.org, Minggu (16/9/2019), OHCHR melalui para ahli HAM PBB menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus melindungi hak semua orang yang melakukan protes damai. Disebutkan pula, pemerintah Indonesia harus memastikan akses ke internet.
OHCHR juga menganggap Veronica Koman dan orang lain yang melaporkan aksi di Papua dan Papua Barat adalah pembela hak asasi manusia. Hak-hak mereka juga harus dilindungi.
“Kami menyerukan langkah-langkah segera untuk memastikan perlindungan kebebasan berekspresi dan mengatasi tindakan pelecehan, intimidasi, campur tangan, pembatasan yang tidak semestinya, dan ancaman terhadap mereka yang melaporkan protes,” kata para ahli di UN Human Rights.
Veronica Koman disebut para ahli HAM PBB aalah seorang pembela HAM. Ia dianggap telah mengalami pelecehan dan penganiayaan online, karena perhatiannya pada dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Penetapan Veronica Koman sebagai tersangka oleh kepolisian juga mendapatkan perhatian khusus.
Dikatakan bahwa kepolisan telah menuduhnya menyebarkan informasi palsu dan memicu kerusuhan. Status ini ditetapkan setelah ia mengajukan protes atas serangan rasis terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.
“Kami menghargai tindakan yang diambil oleh pemerintah terhadap insiden rasis. Tetapi kami mendesak untuk mengambil langkah segera untuk melindungi Veronica Koman. Dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi dan menjatuhkan semua tuduhan terhadapnya. Sehingga ia dapat terus melaporkan secara independen tentang hak asasi manusia. situasi di negara ini,” kata mereka.
Tim ahli ini juga menyatakan keprihatinan serius atas laporan yang mengindikasikan bahwa Indonesia akan melakukan sesuatu terhadap Veronica Koman. Seperti mencabut paspor, memblokir rekening bank dan meminta Interpol untuk mengeluarkan Red Notice, karena ia dikabarkan berada di luar negeri.
Red Notice adalah adalah permintaan untuk menemukan dan menahan sementara seseorang yang dianggap terlibat dalam kasus kriminal untuk dilakukan ekstradisi.
Para ahli HAM PBB menekankan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tidak hanya merusak diskusi tentang kebijakan Pemerintah. Tetapi juga membahayakan keselamatan para pembela HAM yang melaporkan dugaan pelanggaran.
Mereka juga mengatakan, demo semakin meningkat di Papua dan Papua Barat sejak pertengahan bulan Agustus. Demo ini dipicu dugaan rasisme dan diskriminasi dan ditengah seruan untuk memerdekaakan diri. Para ahli HAM PBB inimenjelaskan bahwa demo tidak boleh ditanggapi dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Atau dengan menindak kebebasan berekspresi dan akses informasi.
“Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakui hak-hak semua pengunjuk rasa dan untuk memastikan kelanjutan layanan internet. Kami menyambut restorasi internet pada 4 September di hampir semua provinsi Papua dan Papua Barat,” jelas mereka.
Mereka mengklaim, internet telah terputus sepenuhnya pada 21 Agustus di berbagai bagian kedua provinsi dengan alasan memulihkan keamanan dan ketertiban. Tujuannya mencegah penyebaran desas-desus atau hoaks selama terjadi demo.
“Pembatasan internet dan akses ke informasi secara umum berdampak buruk pada kemampuan individu. Untuk mengekspresikan diri, dan untuk berbagi dan menerima informasi. Di sisi lain, akses ke internet berkontribusi untuk mencegah disinformasi dan memastikan transparansi dan akuntabilitas, ” kata para ahli.
Dikutip dari website tersebut, para ahli HAM PBB (The UN Human Rights Experts) terdiri dari beberapa orang dari berbagai negara. Diantaranya, Clement Nyaletsossi Voule (Togo), Special Rapporteur tentang kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi.
David Kaye (USA), Special Rapporteur tentang kampanye dan perlindungan hak atas kekebasan berpendapat dan berekspresi. Dubravka Šimonović (Croatia), Special Rapporteur tentang kekerasan terhadap perempuan, penyebab dan dampaknya.
Meskerem Geset Techane (Ethiopia), Ketua Kelompok Kerja tentang diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan dan Michel Forst (France), Special Rapporteur tentang pelaksanaan dan pembelaan HAM. (RNS/OSY/SM)