JARILANGIT.COM - Sikap berbeda ditunjukkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat merespons revisi Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Baik revisi UU KPK dan RKUP sebenarnya sama-sama mendapat penolakan dari masyarakat.
Namun, meski ada penolakan, Jokowi tetap menyetujui pembahasan revisi UU KPK.
Sementara terhadap RKUHP, mantan Gubernur DKI Jakarta dengan tegas meminta agar pengesahannya ditunda.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti melihat ada cara pandang yang berbeda dari Jokowi mengenai dua RUU ini. Bivitri mengatakan bahwa RKUHP tak berkaitan langsung dengan Presiden dan anggota DPR lainnya.
"Sentuhannya tidak secara langsung pada aktor politik walaupun kena pada semua warga negara. Tetapi dengan itu kepentingan politiknya tidak langsung," jelas Bivitri saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (21/9).
Hal ini, kata Bivitri jauh berbeda dengan revisi UU KPK yang berurusan langsung dengan para elite politik. Dia menilai elite politik memang memiliki kepentingan untuk melemahkan lembaga antirasuah.
"Kita musti lihat bahwa dari semua partai pada dasarnya hampir semua sudah kena tangkap oleh KPK. Sehingga keinginan untuk melemahkan KPK sudah cukup sama di kalangan partai, termasuk juga presiden," tuturnya.
Terlebih lagi, revisi UU Pemasyarakatan telah disepakati pemerintah dan DPR. Revisi UU ini dinilai Bivitri juga merupakan upaya melemahkan KPK sebab pasalnya mempermudah para koruptor untuk mendapatkan remisi.
"Jadi niatnya untuk melemahkan KPK cukup jelas disandingkan dengan UU Permasyarakatan yang juga membuat koruptor mudah dapat remisi," kata Bivitri.
Dia pun meminta agar masyarakat terus mengawal revisi UU KPK yang telah disahkan dan RKUHP. Terkait upaya untuk menolak UU KPK, Bivitri mengaku akan terus berusaha dengan mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Desakan pasti ada ya karena segala cara untuk menolak RUU KPK ini harus dilakukan," ucap dia.
Seperti diketahui, Jokowi meminta pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditunda. Jokowi meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyampaikannya ke DPR, soal penundaan ini.
"Saya telah perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI, yaitu agar pengesahan RKUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini," ujar Jokowi di Istana Bogor Jawa Barat, Jumat 20 September 2019.
Jokowi pun berharap agar DPR memiliki sikap yang sama. Selain itu, Jokowi juga memerintahkan agar Menkumham menjaring masukan dari kalangan masyarakat sebagai bahan penyempurnaan revisi KUHP.
Sayangnya, hal yang sama tak dilakukan Jokowi kala menyikapi revisi UU KPK. Tak butuh waktu lama sejak DPR mengirimkan draf revisi UU KPK, mantan Walikota Solo itu langsung mengirimkan surat presiden (surpres) menyetujui pembahasannya.
Padahal, revisi UU KPK menuai pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Mereka menilai revisi UU dapat melemahkan kinjera KPK dalam pemberantasan korupsi.
Beberapa hal dalam revisi UU yang disetujui Jokowi yaitu soal keberadaan dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta menyetujui pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN). Saat ini, revisi UU KPK telah disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, Selasa kemarin. (mdk)