JARILANGIT.COM - Materi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menuai pro-kontra. Salah satunya pasal perzinaan dan kumpul kebo. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) beda pandangan soal pasal ini.
Komisi Hukum MUI mengakui perluasaan makna perzinaan dalam pasal di RKUHP adalah usulan pihaknya. Tapi, YLBHI menilai pasal itu berpotensi disalahgunakan saat penerapannya.
Soal perzinaan termaktub dalam BAB XV Tindak Pidana Kesusilaan RKUHP. Pasal 417 menyebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II."
Selain itu di Pasal 419 yang mengatur soal kumpul kebo disebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Hukuman atas pelanggaran pasal tersebut adalah denda sampai Rp50 juta.
Ketua YLBHI Asfinawati menyorot pasal tersebut yang dianggap terlalu mengatur persoalan moral individualitas yang hanya berlaku untuk sekelompok orang.
"Zina itu kan bermacam-macam karena ada yang bilang perkawinan adalah monogami mutlak sehingga banyak yang berpoligami, izin dengan lain-lain akan tetap dianggap zina? Yang mana yang mau kita ambil," kata Asfinawati dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk ‘Mengapa RKUHP Ditunda?’ di D'consulate, Menteng, Jakarta, Sabtu (21/9/2019).
Menurut dia, hukum pidana tidak boleh mengatur ruang-ruang privat warga negara. Ia khawatir hal itu akan disalahgunakan pada saat diterapkan di masyarakat.
"Karena ada percobaan di dalam KUHP percobaan berzina itu seperti apa sih misalkan, ini akan chaos di masyarakat orang dengan gampang melaporkan," ujarnya.
Namun, Ikhsan Abdullah dari Komisi Hukum MUI tak sepakat dengan YLBHI.
Dia mengakui bahwa perluasan pasal perzinahan yang belakangan menjadi pro-kontra merupakan salah satu usulan MUI. Menurutnya perluasan itu dilakukan disesuaikan dengan kultur di Indonesia.
"Perluasan mengenai perzinahan itu masuk, artinya kalau versi KUHP yang namanya zina itukan zina dilakukan apabila bersuami istri dan yang lain seperti kumpol kebo tidak masuk dalam kategori itu, nah ini kan ternyata kan masuk (RKUHP), diakomodasi sebagai nilai baru, bukan berarti menciptakan pidana baru, tidak. Tapi, nilai baru yang memang sesuai dengan kultur di Indonesia," ujar Ikhsan.
Ia menjelaskan, perzinaan yang dimaksud untuk menghindari maraknya hubungan badan tanpa ikatan perkawinan yang sah di masyarakat.
"Kalau dibiarkan masyrakat jadi tradisi, menajdi hal-hal yang diterima, bahaya kan. Enggak seusai dengan kultur manapun termasuk adat atapun agama kita apakah Muslim, Hindu, Buddha, Kristen, semua melarang itu," jelasnya. (okz)