JARILANGIT.COM - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat ada 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengkriminalisasi kebebasan pers.
Ia merinci pasal-pasal tersebut di antaranya pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; pasal 263 tentang berita tidak pasti.
Pasal 281, misalnya, mengancam pidana Kategori II, setiap orang yang saat sidang pengadilan berlangsung tidak mematuhi perintah pengadilan, bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan, atau tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung proses persidangan.
Sesuai ketentuan, denda pidana dikategorikan menjadi empat yakni kategori I dan II, termasuk denda ringan dengan alternatif penjara di bawah satu tahun serta kategori III dan IV denda berat dengan alternatif penjara satu sampai tujuh tahun.
Memberangus Pengkritik Jokowi
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin secara khusus menyoroti pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang diatur pada pasal 218 dan 219.
Pasal 218 mengatur bahwa setiap orang yang dianggap 'menyerang kehormatan' presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp150 juta. Sementara Pasal 219 menyebut setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.
Menurut Ujang aturan itu itu bisa menjadi upaya pemerintah untuk menghentikan perlawanan masyarakat yang kerap mengkritisi kebijakan pemerintah.
"Pasal penghinaan presiden ini adalah takutnya menjadi pasal karet, nah takutnya digunakan oleh penguasa atau para penegak hukum untuk membungkam orang-orang yang selama ini kritis terhadap pemerintah atau presiden," jelas dia.
Menurutnya tidak ada jaminan bahwa pemerintah tidak akan menyalahgunakan pasal-pasal tersebut jika disahkan.
Ia mencontohkan kasus selama Pilpres 2019 ketika polisi menangkap orang-orang yang menghina presiden, namun tidak melakukan hal sama kepada pihak yang menghina kompetitornya, Prabowo Subianto.
"Artinya penegak hukum juga berstandar ganda . Nah di sinilah sebenarnya yang dimaksud dengan penguasa atau penegak hukum dianggap tidak adil. Dalam konteks pasal karet, penghinaan presiden itu dikhawatirkan digunakan untuk membungkam orang-orang," jelas dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyebut RKUHP secara substansi bisa membunuh kebebasan berdemokrasi karena terdapat sejumlah pasal karet. RKUHP disebutnya sebagai produk yang berpotensi menghasilkan rezim antikritik.
"Dan meminimalisir protes keras rakyat," ujar Adi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai keputusan Presiden Jokowi untuk menunda pembahasan dan pengesahan RKUHP di DPR sudah tepat.
Dia juga berharap agar pembahasan pasal-pasal bermasalah lebih diperhatikan di periode DPR masa mendatang.
"Semoga ini bukan cuma menunda waktu pengesahan, tapi berarti pembahasan ulang pasal-pasal bermasalah," kata Asfinawati. (cnn)