JARILANGIT.COM - Sistem e-Budgeting berkualitas buruk yang digunakan Pemprov DKI Jakarta hasil warisan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diduga beraroma korupsi.
Buktinya sistem e-Budgeting tersebut tak mampu mendeteksi pos anggaran Pemprov DKI Jakarta yang disinyalir sarat dengan korupsi dan pagu anggaran yang mengada-ada.
"Diduga keras saat pengadaan pembangunan sistim e-Budgeting zaman Ahok ada dugaan tindak pidana korupsinya," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono melalui keterangan tertulisnya yang diterima Kantor Berita Politik RMOLJakarta, Jumat (1/11).
Kata Arief, akibat sistem e-Budgeting bermutu buruk tersebut sehingga munculah anggaran-anggaran yang dibuat-buat dengan tujuan untuk mencuri dana APBD DKI Jakarta. Seperti pengadaan lem Aica Aibon sebesar Rp 82 miliar serta pengadaan pulpen senilai Rp 123 miliar.
"Akibatnya sekarang semua menyalahkan Anies Baswedanm. Nah Anies jadi ketiban sial akibaat sistem e-Budgeting yang buruk. Ternyata e-Budgeting bikinan Ahok tak bisa mengawasi sistem pengunaan anggaran yang clean and perform dari penyalahgunaan anggaran," kata Arief
Arief berpendapat, idealnya e-Budgeting itu mempunyai sistem dan kualitas yang bermutu. Karenanya apabila terjadi sebuah penyalahgunaan anggaran, maka akan dapat diketahui oleh masyarakat dan auditor BPK. Begitu pula pemborosan terhadap anggaran juga akan akan dapat berkurang.
Selain itu, setiap orang akan bisa melihat apa saja yang berada di dalam e-Budgeting, dan masyarakat dapat memantau hal tersebut secara langsung.
"Lah ini masyarakat tidak bisa mengakses e-Budgeting DKI Jakarta. Jangan-jangan software dan hardware yang dipakai kelas jangkrik. Jadi jangan salahkan Anies yang hanya sebagai second user dong," pungkas Arief.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membeberkan kelemahan sistem pengadaan elektronik atau e-budgeting yang diterapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2015.
Menurut Anies, sistem e-budgeting, memiliki kelemahan teknis di mana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI mau tak mau harus mengisi semua komponen penganggaran secara spesifik sekalipun belum ada pembahasan dengan DPRD.
"Kegiatan sudah ditentukan, misalnya pameran atau pentas musik. Itu ada rekening dan komponen. Misalnya, nilainya Rp100 juta. Rp100 juta itu harus ada turunan komponen. Padahal yang dibutuhkan hanya kegiatannya dahulu karena (ajuan anggaran) akan dibahas dengan Dewan," ujar Anies di Balai Kota DKI, Rabu (30/10).
Anies menyampaikan, keterbatasan teknis itu mau tak mau harus membuat SKPD DKI mengisi anggaran secara detil meski tak betul-betul memiliki maksud mengusulkannya di APBD. Anies menengarai, keterbatasan teknis ini merupakan sebab munculnya banyak ajuan anggaran janggal untuk APBD 2020 seperti lem Aibon Rp82 miliar.
"Setiap tahun, staf itu banyak yang memasukkan, (misalnya) 'yang penting, masuk angka (ajuan anggaran) Rp100 juta dulu. Toh nanti yang penting dibahas," ujar Anies.
Anies juga mengemukakan, ketiadaan fitur verifikasi secara otomatis memperbesar peluang anggaran yang belum dicek ulang malah benar-benar dianggarkan di APBD. Kesalahan manusia, seperti teledor, atau tidak konsentrasi saat menginput anggaran, bisa berdampak besar kepada ditetapkannya anggaran yang salah di APBD.
"Dokumen yang ada harus dicek manual, apakah (penganggaran) panggung, mic. Terlalu detail di level itu ada beberapa yang mengerjakan dengan teledor. Cara-cara seperti ini berlangsung setiap tahun. Makanya setiap tahun muncul angka aneh-aneh. Kalau sistemnya smart, maka dia seharusnya akan melakukan verifikasi," ujar Anies.
Anies menyalahkan e-budgeting, atas masuknya ajuan janggal ke usulan APBD DKI 2020. Menurut Anies, karena e-budgeting tidak sempurna, ajuan janggal seperti pengadaan lem Aibon hingga Rp82 miliar, bisa diusulkan ke APBD.
"Ini ada problem sistem, yaitu sistem digital (e-budgeting) tapi tidak smart," ujar Anies. (dod)