Kamis (03/09). Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang independen
mulai dilihat oleh penguasa sebagai penghalang kesewenangan. Tim ekonomi
Presiden Jokowi, sedang membuat ancang-ancang untuk melucuti BI dari
independensinya. UU tentang BI No. 3/2004 yang mencegah campur tangan dari
pihak mana pun, kini sedang diutak-atik. Akan direvisi untuk merampas
independensi BI itu. Inisiatifnya dari DPR.
Pasal 9 UU ini menegaskan tentang posisi bebas BI. Tidak ada yang boleh campur
tangan. BI berada di luar sistem politik. Bahkan, Presiden sebagai penguasa
eksekutif tertinggi pun tidak bisa mengarahkan BI.
Pemerintah sedang menghadapi defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) sampai 853 T. Defisit ini diakibatkan wabah Covid-19. Pemerintah
harus menambah pengeluaran hampir 700 T. Sebenarnya, yang murni untuk
penanganan wabah ini hanya 75 T. Selebihnya untuk berbagai skema, termasuk
porsi yang cukup besar untuk penyelamatan korporasi.
Dimintalah perubahan APBN ke DPR. Tapi, sumber dana tidak ada. Mencari utang
baru tidak mudah. Surat Berharga Negara (SBN) yang selama ini diandalkan
untuk menjaring duit, tampaknya tidak mudah dijual. Bahkan, sejumlah
investor non-residence (asing) dilaporkan melepas SBN senilai 130 T.
Terdesak oleh sumber dana yang tidak ada itu, DPR meminta agar BI mencetak
uang sebanyak 600 T. Gubernur BI menolak. Para penguasa merasa BI menjadi
sandungan. BI menolak karena mencetak uang secara sembarangan bertentang
dengan UU dan prinsip pengendalian inflasi. BI beralasan, inflasi tinggi
(hyper inflation) akan melanda Indonesia jika pencetakan uang 600 T itu
dilaksanakan.
Kelihatannya, DPR dan pemerintah naik pitam. Melalui kolaborasi dengan DPR,
pemerintah bisa melumpuhkan BI. Dan itulah yang sedang mereka lakukan lewat
RUU perubahan UU No. 3/2004. Pasal 9 yang diandalkan BI, akan dicoret.
Diganti dengan Pasal 9 huruf (a), (b), dan (c).
Pasal 9 versi baru itu akan menjadi pedoman pembentukan semacam ‘superbody’
yang bakal menjadi ‘atasan’ BI. Lembaga super itu disebut Dewan Moneter
(DM). Akan diketuai oleh Menteri Keuangan dengan anggota salah satu menteri
bidang ekonomi, Gubernur BI dan Deputi Senior Guberbur BI, dan satu orang
dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Pasal 9c sangat krusial. Gubernur BI memang diberi ruang untuk ‘melawan’
pemerintah. Tetapi, Gubernur diperkirakan sulit untuk tidak sejalan dengan
keinginan mayoritas DM. Sebab, pemerintah bisa menggunakan ‘taktik khusus’
dengan kekuasaan politiknya. Ingat, ada pula usul untuk menambahkan beberapa
menteri sebagai penasihat DM. Pimpinan BI akan terjepit. Bayangkan saja
bagaimana nanti ‘nasihat’ dari para menteri kepada Gubernur BI yang ‘melawan’.
Sebetulnya, untuk urusan stabilitas ekonomi-keuangan sudah ada Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Di situ juga ada menteri keuangan. Cuma,
wewenang KSSK tidak bisa sampai mendikte BI.
Jika perubahan UU No. 3/2004 itu disahkan –dan tampaknya kecil kemungkinan
tidak disahkan karena DPR praktis sudah menjadi stempel penguasa— maka
selesailah riwayat BI sebagai lembaga moneter yang bebas dari intervensi
politik. BI akan dikerangkeng dengan pembentukan DM seperti dijelaskan di
atas.
DM akan bertugas membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan
menetapkan kebijakan moneter. Tidak ada lagi cerita BI bekerja hanya untuk
kepentingan ‘the best practice of monetary system’. BI tidak lagi hadir
untuk praktik terbaik sistem moneter. Keberadaan para ahli moneter di bank
sentral itu kemungkinan menjadi ‘redundant’ alias ‘mubazir’.
Cerita cetak uang untuk defisit APBN, berawal dari usul ketua Badan Anggaran
(Banggar) DPR, Said Abdullah. Menurut Said, cetak uang itu perlu dilakukan
karena pendapatan pemerintah menurun sedangkan pengeluaran bertambah.
Defisit APBN melebar secara signifikan. Semua ini akibat Covid-19, kata para
pejabat tinggi.
Haruskah diterima ‘reasoning’ dari pemerintah yang mengkambinghitamkan wabah
Corona? Sepintas tampak seperti itu. Jika hanya berdasarkan kalkulasi APBN
Corona 2020 saja.
Tetapi, kalau dicermati lebih jauh, akan terlihat berbagai penyebab lain.
Bukan hanya Covid-19. Sebab, salah kelola keuangan negara telah berlangsung
bertahun-tahun. Khususnya, sejak Jokowi memberikan penekanan berlebihan pada
proyek-proyek infrastruktur yang menyedot banyak dana.
Para ahli dan pengamat masalah ekonomi-keuangan menentang pembentukan Dewan
Moneter. Mereka melihat langkah ini merupakan kemunduran bagi Indonesia.
Kalau alasan utamanya adalah untuk membantu BI dan pemerintah.
DM hanya ada di era Soekarno. Kalau di masa Soekarno, jangankan pembentukan
Dewan Moneter, dirinya sendiri pun dia angkat menjadi presiden seumur hidup.
by Asyari Usman
Penulis adalah Wartawan Senior