Pepatah Romawi Kuno: "Bukan pasukan besar dan kuat yang dapat merebut kekuasaan melainkan opini yg dibentuk secara sistematis".
Pada jaman dahulu, opini dibentuk dari informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut mengenai kebaikan, kebajikan, kesaktian dari penguasa. Informasi-informasi yang disampaikan itu kemudian dikembangkan menjadi mitos untuk memberi legitimasi dan kredibilitas penguasa di mata rakyatnya.
Di era informasi dan globalisasi sekarang ini, pepatah romawi kuno tersebut semakin terbukti kebenarannya. Opini menjadi faktor yang sangat dominan.
Trial by the press atau peradilan pers itu sudah menjadi "tradisi buruk" dinegara yg menganut sistem demokrasi. Banyak korban. Korban yg fenomenal akibat trial by the press adalah tewasnya lady diana. Presiden, PM atau menteri2 sudah banyak yg jatuh di LN sana.
Bagi Pers rating, komersialisasi ( iklan) dan politik media adalah no. 1. Rasa keadilan, etika, hukum dstnya sering ditabrak oleh media. Apalagi prinsip cover by both side, prinsip ini setiap saat dilanggar oleh media dengan berlindung dibalik UU pers.
Media tidak peduli dengan informasi yang dia sampaikan itu benar atau salah. Jika salah, ya ada kesempatan hak jawab yang umumnya tak memadai. Media tidak peduli dengan kerusakan, kerugian dan penderitaan korban yang timbul akibat pemberitaan yang salah, fitnah atau tendensius.
Dalam sistem demokrasi, pers adalah RAJA. Pilar demokrasi yang paling berkuasa, arogan dan otoriter. Kontrol terhadap pers hanya oleh rakyat.
Dalam suatu negara yang rakyatnya sudah cerdas, skeptis dan kiritis, media-media yang sering memuat berita/informasi kualitas sampah akan mati. Tetapi dalam suatu negara dimana publiknya belum begitu cerdas, umumya mereka menelan bulat-bulat informasi meskipun itu salah atau bentuk fitnahan.
Nah, kondisi seperti terakhir inilah yang sekarang dihadapi oleh Indonesia. Rakyat Indonesia belum semuanya memiliki kecerdasan menyaring info, maka dengan mudah terjadilah pembentukan opini-opini sesat by design oleh media yang terafiliasi dengan partai politik.
Gempuran TV setiap detik yang memberitakan tentang kebusukan pesaing misalnya, dianggap publik sebagai suatu kebenaran. Media-tersebut tentu saja sedang menjalankan teori Hitler yang mengatakan: kebohongan yang disampaikan secara terus menerus akan dianggap sebagai kebenaran.
Saat ini sangat sedikit media yang bebas, netral dan berimbang dalam pemberitaan. 90% telah menjadi alat politik untuk membentuk opini. Tentu opini yang dimaksud disini adalah opini pesanan yang sesuai dengan politik media atau kehendak pemiliknya.
Lalu bagaimana rakyat harus bersikap ? Sebenarnya mudah. Simak saja acara-cara / pemberitaan media tsb, jika sudah dinilai tendesius, tinggalkan !
Media yang sudah tidak bebas, netral dan berimbang lagi pemberitaannya adalah termasuk kategori media sampah atau media propaganda. Media sampah atau media propaganda itu tidak pernah mementingkan kebutuhan dan tanggungjawabnya kepada publik. Mereka hanyalah alat politik.
Dan jangan lupa, sangat sering TV, koran, majalah dst itu menjadi corong dan kolaborator kepentingan asing dan ada hidden agenda. Bagi media hal itu sudah biasa, yang penting mereka dapat bayaran dan bisa menopang kelangsungan hidup medianya. Itulah bahayanya.