JARILANGIT.COM - Maraknya politikus yang terjerat praktik korupsi salah satunya lantaran mahar politik yang membuat biaya politik semakin tinggi.
Ketua KPK Agus Rahardjo menilai mahar politik bisa berujung pada perilaku korup saat nanti terpilih sebagai pejabat negara.
Agus kemudian mencontohkan mahar politik yang kerap dipatok partai untuk memberi rekomendasi pencalonan kepala daerah tingkat kabupaten. Angkanya, kata dia, bisa mencapai Rp 20 miliar bahkan Rp 50 miliar.
Padahal, gaji pokok seorang bupati hanya Rp 5,7 juta per bulan. Untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan selama proses pencalonan dan kampanye, bupati terpilih akan berupaya mencari sumber-sumber dana dari manapun termasuk dengan cara ilegal, seperti korupsi.
"Kan enggak ada orang yang secara sukarela menghibahkan itu, Rp 20 miliar sampai Rp 50 miliar ini besar juga. Oleh karena itu supaya pemilu yang murah tadi berjalan efektif, kita harus ada sanksinya (bagi yang korupsi)," kata Ketua KPK, Agus Rahardjo dalam diskusi Pemilu Berintegritas "Pilih yang Jujur" di Gedung ACLC, Jakarta, Jumat (15/3).
Untuk mencegah mahar politik yang menyebabkan biaya politik tinggi, KPK mendorong peningkatan dana bantuan yang digelontorkan negara untuk partai politik. Agus meyakini dana bantuan yang dikucurkan negara secara ideal kepada partai politik dapat menekan mahar politik yang memicu terjadinya korupsi.
"Supaya partai enggak dibayar mahal salah satunya yang disampaikan dan dikaji KPK itu partai dibiayai negara seperti di banyak negara. Kalau saya pikir misalkan untuk partai itu misalkan untuk partai itu setahun habis Rp 20 triliun itu kan, daripada enggak dibiayai negara rusaknya bukan main," katanya.
Agus mengungkapkan, dari kasus-kasus yang ditangani KPK selama ini, suap menjadi tindak pidana korupsi yang paling banyak yang dilakukan kepala daerah untuk mengumpulkan uang ilegal. Dikatakan Agus dengan otonomi daerah saat ini, seorang bupati memiliki kewenangan terkait berbagai perizinan di daerahnya dan menjadi celah terjadinya suap.
Apalagi, bupati-bupati di daerah yang memiliki area pertambangan dan perkebunan. Selain suap, kata Agus, pengadaan barang dan jasa juga menjadi celah terjadinya praktik korupsi.
Agus mengungkapkan, kepala daerah kerap memanfaatkan celah dalam Perpres Pengadaan Barang dan Jasa yang membolehkan penunjukan langsung terhadap pengadaan barang dan jasa yang mendesak dan nilainya kurang dari Rp 200 juta.
"Sekarang itu, semestinya nilainya Rp 20 miliar, itu dipecah-pecah jadi Rp 199 juta. Kontraktornya jadi banyak. Salah satu Bupati misalnya, 40 persen dari uang itu lari ke kantongnya pak Bupati," ungkapnya.
Diketahui dari 16 partai peserta Pemilu 2019, Partai NasDem menegaskan antimahar dan tidak memotong gaji kader yang duduk di parlemen guna mencegah korupsi. Partai ini juga menegaskan dukungan kepada kaum muda dengan menempatkan kaum muda dominan dalam pencalegan.
Dalam diskusi ini, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, dari kajian ICW, tingginya biaya politik di antaranya disebabkan mahar politik dan kampanye yang melanggar aturan. Untuk itu, ICW, kata Almas mendukung jika partai politik tidak meminta mahar. Menurutnya, dalam undang-undang, sudah diatur larangan partai politik menerima mahar. Bahkan dalam UU Pilkada, partai yang terbukti menerima mahar tidak boleh mencalonkan pasangan calon di Pilkada berikutnya.
"Kenapa tidak boleh menerima mahar karena terima mahar ini membuat biaya pemenangan itu sangat tinggi. Sedangkan, kandidat untuk lain-lain saja sudah membutuhkan banyak uang ditambah mahar tinggi itu semakin membuat menjadi faktor atau membuka peluang untuk melakukan korupsi ketika mereka terpilih. Setidaknya ada dua alasan, untuk mencegah korupsi, kemudian di aturan juga dilarang," katanya.
Untuk itu, dia meminta Bawaslu bekerja sama dengan KPK untuk melacak rekam jejak kandidat bakal calon penyelenggara negara. Selain itu, Bawaslu juga bisa bekerja sama dengan kepolisian dan pihak lain agar mempunyai bekal memberikan sanksi.
"Di undang-undang juga punya instrumen untuk memantau dan menindak adanya mahar politik itu," tuturnya. (b1/rmo/edt)