Pada debat calon presiden yang ke 4 pada tanggal 17 April 2019 yang lalu, Jokowi memunculkan ide program tentang Digital Layanan (Dilan) publik. Digital layanan publik ini bertujuan untuk efisensi layanan publik termasuk mempercepat layanan publik untuk masyarakat.
Hal yang terus diulang-ulang oleh Capres nomor 01 dalam debat tersebut. Ide ini sebenarnya sudah cukup usang dalam ilmu administrasi publik namun masih cukup relevan dibicarakan.
Tuntutan efisiensi pelayanan publik muncul di era tahun 1990-an ketika para akademisi dan praktisi pemerintahan di Negara-negara yang tergabung dalam OECD menyadari pentingnya mereformasi sistem birokrasinya yang lambat, tidak responsif dan boros karena tumbuh suburnya patologi birokrasi melalui praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam paradigma ilmu administrasi publik reformasi ini dinamakan bergesernya sistem manajemen pemerintahan dari ‘Old publik Administration’ ke ‘New publik Management’.
Pemerintah cenderung melakukan tindakan-tindakan yang tidak efisien seperti pembengkakan belanja anggaran, pembiayaan program-program yang tidak perlu dan mubazir atau ‘mercu suar’. Penganggaran yang besar pasak dari tiang dengan mempertinggi utang negara namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang optimal.
Besarnya utang luar negeri Indonesia saat ini terlihat pada akhir tahun 2018 tercatat sekitar Rp5.275 triliun dengan rasio utang kita terhadap PDB sudah mencapai angka diatas 30 persen.
Prioritas pembangunan infrastruktur menjadi perhatian pemerintah sehingga membutuhkan dana yang besar untuk pembangunan, namun permasalahannya cukup efisienkah pembangunan infrastruktur tersebut yang sudah mulai digenjot sejak awal pemerintahan. Apabila melihat pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan dalam 5 tahun terkahir diangka 5 persen lebih dan jauh dari target pertumbuhan 7 persen.
Investasi infrastruktur belum memberikan hasil yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Walau memang ada argumen yang menyebutkan pembangunan infrastruktur tidak bisa langsung dirasakan dalam waktu singkat.
Namun jangka waktu 4-5 tahun sudah bisa dikatagorikan jangka menengah sehingga seharusnya pergerakan ekonomi lebih baik lagi, apabila investasi infrastruktur tersebut tepat sasaran sehingga membawa efek multiplier pada sektor pertumbuhan ekonomi. Realisasi pajak juga masih belum mencapai target 100 persen mencapai angka sekitar Rp 1.315 triliun di tahun 2018 dengan rasio pajak masih sekitar 11 persen.
Hal tersebut bisa menjadi salah satu landasan untuk merealisasikan digital servis dalam pelayanan publik yaitu merupakan salah satu upaya memperbaiki ketidakefisenan di sektor publik termasuk dalam hal ini untuk mengoptimalkan pungutan pajak dari masyarakat melalui e-service. Di Indonesia sendiri pengisian SPT online sudah diinisiasi namun tampaknya belum sampai tax return. Hal ini telah lama dilakukan di Australia.
Ketika saya dulu studi S3 di Flinders Australia tahun 2001-2005 untuk pengembalian pajak atau ‘tax return’ cukup melalui fasilitas layanan internet dikampus yaitu melalui websitenya kantor pajak setempat dengan memasukkan nilai tax returnnya dengan menyertakan tax file number kita (NPWP) dan nomor rekening bank.
Uang pengembalian pajak tersebut secara otomatis akan masuk kerekening saya, tanpa harus menemui petugas pajak dan melalui berbagai prosedur adminsitrasi. Apabila kita melakukannya secara manual di kantor pajak yang jelas memakan waktu yang cukup lama. Peristiwa “Gayus” merupakan cerminan penyimpangan pajak karena prosedur manual yang dilakukan sehingga memungkinkan terjadinya celah kebocoran pendapatan Negara.
Inilah yang dimaksud dengan paradigm ‘New publik Management’ termasuk dengan berkembangnya memaksimalkan pelayanan secara online. Seharusnya insiiasi DILAN ini digencarkan sejak awal pemerintahan rezim ini, kalau bisa mengatakan ini agak terlambat memulainya sekarang.
Namun program DILAN tersebut mendapatkan kritik tajam dalam pendekatan yang terkini yaitu ‘New publik Service’ (NPS) dalam paradigma Governance termasuk digital governance yang berkembang di tahun 2000an keatas, karena reformasi DILAN terlalu teknis mempersoalkan efisiensi dan kecepatan pelayanan birokrasi saja.
Lalu bagaimana dengan hak-hak masyarakat yang termarginalkan? Benarkan reformasi DILAN untuk kesejahteraan kelompok yang termarginalkan oleh pembangunan atau sebaliknya malah untuk melayani kepentingan pemerintah dalam membayar pajaknya atau melayani kepentingan investor asing?.
NPS memperhatikan kebutuhan masyarakat yang termarginalkan seperti masyarakat miskin, pengangguran, pelau usaha mikro dan kecil, dan masyarakat yang berada didaerah tertinggal, terluar, terisolasi. NPS juga memperhatikan manfaat untuk masyarakat generasi yang buta digital dan tidak terberdayakan dari hasil DILAN tersebut.
Pertanyaan lanjutan dari terhadap gerakan Efisensi NPM adalah reformasi e-layanan ini untuk siapa? Untuk memaksimalkan tagihan pajak ke masyarakat karena perlunya dana pengembalian utang pemerintah atau untuk memudahkan pelayanan terhadap investor termasuk investor asing dari China.
NPS mempertanyakan reformasi digital harus governance artinya minimal memenuhi aspek akuntabilitas. Akuntabilitas untuk kesejahteraan masyarakat yang termarginalkan misalkan digital governance ini memberikan kemanfaatannya untuk si miskin, atau memberdayakan pelaku usaha mikro dan kecil, atau memberikan kemudahan bagi masyarakat yang jauh dari akses pelayanan secara manual misalkan dipedalaman dll.
DILAN tanpa DIGOV seperti makan sayur tanpa garam akan terasa hambar karena terlalu teknis dan belum menyentuh keadilan masyarakat yang termarginalkan oleh pembangunan. Inilah salah satu bentuk akuntabilitas DIGOV sebagai ‘the soul of NPS’. DILAN tidak perlu dipertentangkan dengan DIGOV karena mereka diharapkan bersinergi. Hanya saja apabila DILAN yang diterapkan maka birokrasi seperti mesin tanpa hati nurani yaitu tanpa keberpihakan yang jelas kepada kaum termarginalkan.
Penulis : Andy Fefta Wijaya, Ph.D Pakar Kebijakan Publik FIA UB