Latar belakang tulisan ini adalah keprihatinan selaku anak bangsa. Dan kegelisahan ini diawali retorika, "Seandainya PS mundur demi keutuhan bangsa, apakah rakyat mau menerima kecurangan-kecurangan di depan matanya?". Retorika tidak untuk dijawab agar tulisan ini dapat dilanjutkan.
Kedua, "Apakah jajaran 01 telah menyadari kekalahannya dalam pilpres 2019 ini?" Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Akan tetapi, diutusnya LBP atau ia "mengutuskan diri" menemui PS (meski gagal) merupakan indikator kuat bahwa jajaran 01 sudah menyadari kekalahannya pada pilpres 2019, termasuk isu pemilu ulang yang disampaikan sendiri oleh Jokowi dan tawaran rekonsiliasi.
Ada hipotesa, bahwa usai LBP batal menemui PS akan dikirim SBY sebagai pasak penghubung kedua capres, karena statement JK agar kedua capres bertemu pun dianggap angin lalu. Dan seandainya SBY benar-benar berkehendak menemui PS dipastikan akan mengalami kegagalan pula.
Kenapa ? Selain menimbulkan syak wasangka publik, dapat menggerus kepercayaan rakyat terhadap PS serta menurunkan moral massa pendukung 02 yang tengah berjuang mengamankan C1 ---semangat ini yang dijaga oleh PS--- juga saat ini yang head to head justru rakyat versus kecurangan-kecurangan KPU.
Disinyalir narasi yang tengah dibangun oleh salah satu pihak ialah memunculkan "(rekayasa) chaos". Kenapa begitu, sebab dengan kondisi chaos nanti maka dalih darurat sipil atau situasi genting merupakan alasan kuat menerbitkan keputusan strategis semacam "Dekrit Presiden" bahwa pemilu dinyatakan gagal karena gangguan keamanan. Dan gilirannya, Jokowi tetap melaju sebagai presiden sampai waktu tertentu.
Persoalannya adalah, siapa berani menjamin apabila kelak muncul dekrit, keadaan bisa kembali pulih dan situasi bisa terkendali; atau jangan-jangan justru kondisi kian meningkat baik suhu, realita sosial maupun atmosfer politiknya?
Dalam hal ini, fungsi intelijen manapun seyogianya tidak bermain-main di ranah persepsi dalam menyuguhkan kondisi sosial politik yang tengah berlangsung.
Jika melihat antusias publik saat kampanye, contohnya, atau ketika menyaksikan semangat massa 02 mengamankan C1, adanya gairah untuk melacak, melaporkan dan memviralkan kecurangan-kecurangan KPU, dst sepertinya perlawanan rakyat tak bakal surut meski nanti terbit dekrit. Ini dugaan sementara.
Mengapa demikian, selain seruan jihad telah ditabuh dari Saudi Arabia oleh HRS, tampaknya skenario sudah bergeser. Ya riil pertarungan bukan lagi antara 01 melawan 02, tetapi yang berlangsung kini rakyat versus KPU. Kondisi faktual ini mutlak harus dihitung serta disadari bersama.
Yang perlu kita renungkan bersama selaku anak bangsa, bahwa pasca terbit dekrit kelak, apabila tidak bisa menyelesaikan kekacauan dan ternyata chaos masih berlarut bahkan meluas, kemungkinan besar dunia internasional cq PBB tidak bakal tinggal diam.
Indonesia terlalu sexy untuk dibiarkan sendirian. Niscaya ia, PBB, akan melakukan intervensi melalui penerbitkan resolusi untuk menghadirkan pasukan asing demi pulih keadaan. Nah, sampai disini apakah kita sadar?
Entah apa agenda PBB nantinya, entah pemilu ulang di bawah pengawasan peace keeper (pasukan baret biru), atau bargaining position, kompromi antarkedua capres, dst. Masih belum bisa diprediksi.
Yang jelas, selain sudah ada `luka sosial politik` menganga di hati rakyat juga hadirnya pasukan asing jelas merugikan kepentingan Indonesia dari perspektif geopolitik. No free lunc.
Dipastikan banyak titipan kepentingan asing, paling minimal ialah titipan dari kelima adidaya pemegang hak veto di DK PBB. Itu keniscayaan.
Geopolitik mengkhawatirkan, jangan-jangan dari kehadiran pasukan asing justru awal Indonesia dipecah belah menjadi beberapa negara melalui referendum yang diseting oleh para adidaya.
Pola kavling-kavling seperti di Irak dan Libya bisa terjadi di Indonesia. Amerika meminta Jawa, misalnya, atau China dapat Sumatera, Inggris memilih Kalimantan, Rusia pilih Sulawesi, dst.
Pertanyaannya adalah, bagaimana agar tidak hadir pasukan asing di Indonesia? Gampang-gampang sulit.
Apabila narasi (fiksi) skenario adalah Chaos - Dekrit - Hadir Pasukan Asing, maka jangan coba-coba terbitkan dekrit apapun.
Pertanyaan lanjut, bagaimana supaya tak muncul dekrit? Ya jangan ada kerusuhan apapun secara fisik terkait protes-protes terhadap kecurangan pemilu baik ke KPU maupun Bawaslu.
Waspadai geliat provokator yang hendak memicu agar timbul konflik. Bagaimana agar tidak terjadi konflik baik vertikal antara rakyat melawan KPU, atau tidak timbul konflik horizontal antarpendukung kedua capres? Hindari chaos!
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute dan Wartawan Senior