Cerita Togog, Bilung, Semar dan Opini Pendukung  Jokowi Kupingnya Tipis
Cerita Togog, Bilung, Semar dan Opini Pendukung  Jokowi Kupingnya Tipis

Cerita Togog, Bilung, Semar dan Opini Pendukung Jokowi Kupingnya Tipis

Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog dan Bilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk



Banyak versi kisah mengenai Togog akibat memang banyak dalang wayang kulit yang masing-masing berhak menciptakan versi sendiri-sendiri saling beda satu dengan lainnya.

Dikutip dari Wikipedia, Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari keempat anaknya yang lahir dari sebutir telur.

Lapisan-lapisan telur yakni kulit paling luar diberi nama Batara Antaga (Togog), kulit selaput diberi nama Batara Sarawita (Bilung), putih telur diberi nama Batara Ismaya (Semar) dan kuning telur diberi nama Batara Manikmaya (Batara Guru).

Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari keempat anaknya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa Kahyangan.

Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, tetapi yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog memaksakan dirinya untuk menelan, padahal mulutnya tidak muat. Giliran kedua Batara Sarawita salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus sebelum dia menelannya membuat seluruh tubuhnya rusak dan bopeng-bopeng.

Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit.

Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, anak bungsu dari Sang Hyang Wenang.

Adapun Batara Antaga (Togog), Batara Sarawita (Bilung) dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog dan Bilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk. ***

Pendukung Pak Jokowi Kupingnya Tipis

Oleh : Pradipa Yoedhanegara

Dalam sebuah negara demokrasi kritik merupakan sebuah kewajaran yang menjadi kebiasaan. Agar ada semacam check and balance dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kritik bisa melalui berbagai macam sarana baik melalui lisan, tulisan maupun gambar. Sampai pada adanya gerakan demonstrasi yang masiv dilakukan oleh warga negara.

Tidak ada hal yang luar biasa dari gambar siluet yang menjadi Cover majalah tempo edisi 16-22 September 2019 dengan judul “Janji Tinggal Janji”. Sebagai sebuah ilustrasi gambar siluet, terlihat gambar tersebut biasa saja dalam dunia jurnalistik. Dan sama sekali tidak ada unsur penghinaan lambang negara ataupun pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh majalah Tempo dalam cover majalahnya.

Siluet merupakan sebuah gambar objek orang atau adegan yang terdiri dari batas pinggir (outline) dan bidang dalam (interior) polos. Dimana objek yang dibuat siluet memang biasanya dibuat berwarna hitam. Secara tradisional gambar siluet yang ada di majalah Tempo berkarikatur Presiden Jokowi, adalah merupakan sebuah bentuk karya seni yang sangat artistik.

Seni gambar siluet majalah Tempo; dengan ilustrasi gambar Jokowi yang memiliki bayangan berhidung panjang. Tidak tampak sebagai bentuk penghinaan lambang negara, maupun penghinaan terhadap kepala negara. Seperti yang diadukan oleh relawan jokowi kepada dewan pers. Apalagi isi yang ada didalam majalah tempo tersebut cukup cover bothside dalam sisi penyajian berita.

Sebagai sebuah karya seni, ilustrasi gambar siluet Jokowi bisa di maknai berbeda-beda. Tergantung dari perspektif mana kita melihat gambar tersebut. Didalam gambar tersebut majalah Tempo sepertinya tidak mengesankan sosok Jokowi sebagai seorang pembohong, atau pun mengesankan wajah Jokowi seperti boneka kayu Pinokio.

Adanya kesan pelecehan terhadap lambang negara, sampai kepada penghinaan kepala negara. Seharusnya publik yang menilai bukan malah relawan atau pendukung tuan Presiden. Bahkan lebih konyol lagi telah terjadi semacam penggiringan opini dari para pendukung Jokowi: kalau Majalah Tempo, telah melakukan tindakan pidana dalam cover siluet tersebut, kemudian melaporkan hal itu ke Dewan Pers.

Publik, dalam hal ini melihat sesuatu yang wajar dilakukan oleh media seperti majalah Tempo. Justru yang melihat ini menjadi ketidak wajaran adalah para buzzer istana yang hobby membuat kegaduhan di negeri ini. Sangatlah dangkal ketika karya seni artistik dianggap sebagai sebuah pelecehan di alam demokrasi seperti saat ini. Karena khawatir siluet majalah tempo bisa memicu sikap kritis terhadap pemerintah.

Buzzer istana harusnya tidak berkuping tipis dalam menghadapi kritik media, apalagi sampai menggunakan delik dalam menghadapi kritik publik. Sangat berbahaya di era demokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan untuk melakukan pembungkaman terhadap media massa seperti yang pernah dilakukan di masa sebelum reformasi.

Sebaiknya para relawan dan para buzzer pendukung rezim lebih mengedepankan akal sehat, ketimbang nafsu belaka yang pada akhirnya menyesatkan informasi publik. Belajarlah melihat keindahan artistik dari sebuah ilustrasi siluet, bukan melihat sesuatu dari kacamata kebencian yang tertanam dan merasa paling benar dalam melihat sesuatu.

Para relawan dan buzzer istana, harusnya bisa merasakan perasaan publik terkait adanya revisi UU KPK dan pemilihan Komisioner KPK.

Belajar menghadapi perbedaan dialam demokrasi seperti saat ini menjadi sebuah keharusan, jangan melulu menggunakan delik ketika menghadapi perbedaan, apalagi sampai membangun opini adanya; “kelompok Taliban dan polisi India di lembaga KPK RI”.

Secara pribadi saya ingin sampaikan, persoalan siluet yang menjadi cover majalah Tempo sangat tidak layak dijadikan framming oleh buzzer istana. Seolah Tempo berubah menjadi radikal dan ada kelompok radikal dari Taliban didalamnya. Karena apa yang dilakukan oleh majalah Tempo sama sekali tidak melanggar UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999.

Sebagai pesan penutup, menghadapi kritik bukan dengan overdosis delik, apalagi sambil melapis delik laporan. Seolah sedang terjadi kriminalisasi dan persekusi terhadap penguasa.

Hadapilah kritik dengan cara yang wajar, karena publik sudah jengah dengan cara-cara pendekatan kekuasaan dalam menghadapi kritik disaat ekonomi yang sedang morat marit seperti saat sekarang ini.


 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.