Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) Diaborsi ?
Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) Diaborsi ?

Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) Diaborsi ?

LIPI menyebutnya, UU KPK ini tidak sekadar direvisi tapi diubah. Signal LIPI sangat jelas, diduga, ada kuasa kegelapan yang punya kepentingan



“Panas masih terik tapi kenapa musim gugur telah datang … bahkan … seolah … musim gugur datang lebih cepat dari musim alaminya”.

“… Tidak … bukan… ini bukan soal musim… Indonesia tak mengenal musim gugur …”.

Ini celotehan aktivis dan BEM menanggapi info soal Surpres (Surat Presiden) yang secara resmi dikirim kepada DPR RI untuk melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mereka melanjutkan, “Ini soal kriminalitas … lho koq? … Ya kriminalitas … Ini soal keguguran karena kejahatan aborsi! … Walahmak … ngeri kali rupanya ….”.

Tampaknya, “bulan madu” di mana janji ditebar untuk memperkuat KPK demi mewujudkan upaya pemberantasan korupsi secara trengginas telah luruh, runtuh, dan rubuh. Alasannya, karena KPK telah diaborsi, digugurkan tanpa tedeng aling-aling.

Diskusi para kolega di atas sepakat, pasca-Surpres ke DPR adalah wujud dari tindakan aborsi terhadap KPK. KPK sebagai institusi negara yang otoritas dan corebusiness-nya di bidang pemberantasan korupsi, mengklaim, tak dilibatkan secara paripurna dalam proses revisi UU KPK. Pendeknya, mungkin, KPK dinilai afkir dan enggak dianggap begitu penting lagi bagi upaya pemberantasan korupsi.

Reaksi kekecewaan, pasca-Surpres dikirimkan, semua pihak yang semula menaruh harapan pada presiden dan muak pada kecongkakan dan keponggahan korupsi serta jaringannya, merasa bahwa “cintanya telah bertepuk sebelah tangan”. Mereka bertanya dengan gugatan, apakah kekuasaan memang telah “digelapkan” matanya dan juga “dibuta-tulikan” akal nuraninya?

Yang menarik, salah satu Pimpinan KPK menegaskan "… KPK juga menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang seakan-akan menyembunyikan sesuatu dalam membahas revisi UU KPK ini. Tidak ada sedikit transparansi dari DPR dan pemerintah …". Ada beberapa kata kunci sarkasme, seperti “menyesalkan”, “menyembunyikan sesuatu” dan “tak ada sedikit transparansi”.

Lebih lanjut dikemukakan "… Ini preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia. DPR dan pemerintah berkonspirasi diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga tanpa berkonsultasi atau sekurang-kurangnya memberitahu lembaga tersebut tentang hal-hal apa yang akan direvisi dari Undang-Undang mereka. Ini jelas bukan adab yang baik …".

Jika pernyataan di atas diterjemahkan secara bebas tanpa hendak menuding siapapun, KPK tengah dilucuti kewenangannya melalui suatu tindak konspirasi yang diduga dilakukan DPR dan pemerintah. Tindakan ini dinilai tak beradab karena Lembaga KPK tidak diajak konsultasi atau diberitahu, apa yang hendak direvisi di UU KPK.

Yang sangat mengerikan, belum lagi luka dan dampak aborsi pertama selesai, kini, sudah ada tindak aborsi kedua. Calon Pimpinan KPK yang oleh sebagian kalangan diduga tak punya integritas dan dicurigai sebagai 'kuda troya' yang merepresentasikan kuasa kegelapan, justru diloloskan DPR dan dijadikan beberapa Pimpinan KPK.

Senja kala KPK makin tak terbantahkan dan absurditas pemberantasan korupsi kian faktual dan kontekstual. Jadi, kian sempurna saja proses pembusukan KPK yang kelak menjadi instrumen “penghancuran" KPK melalui aborsi kedua.

Ada beberapa indikasi lain yang menunjukkan bahwa aborsi berlanjut atas KPK tengah terjadi. Misalnya saja, usulan revisi atas UU KPK telah melanggar perundangan lainnya. Usulan revisi dan Surpres dipastikan bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembuatan RUU. Perundangan itu menyatakan, sebuah UU harus melewati program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan masuk dalam Prolegnas tahunan untuk bisa diusulkan dan dibahas dalam suatu rapat paripurna di DPR.

Belum lagi ada fakta, Ombudsman menyatakan, Surpres secara sengaja tidak melibatkan KPK dan stakeholders lainnya yang justru kompetensinya di bidang pemberantasan korupsi.

LIPI menyebutnya, UU KPK ini tidak sekadar direvisi tapi diubah. Signal LIPI sangat jelas, diduga, ada kuasa kegelapan yang punya kepentingan atas revisi UU KPK. Mereka adalah kartel politik dan sebagian anggota dewan sang pemburu renten alias rent seeking. Kini, ada pertanyaan, apakah ini pertanda otoritarianisme yang tak mungkin bersahabat dengan upaya pemberantasan korupsi tengah menunjukan kuasa otoriternya.

Akhirnya, kendati KPK anak kandung reformasi dan menjadi salah satu lembaga negara yang paling “kinclong” prestasinya hingga terus-menerus dipercaya publik selama kiprahnya di Republik Indoneisa (LSI di dalam surveinya di Tahun 2019 menyatakan sebanyak 84 persen percaya dengan KPK, kepercayaan pada presiden masih di bawah KPK (79 persen) dan sangat jauh berbeda dengan kepercayaan publik pada DPR (61 persen), dan hanya Parpol 53 persen), kini, sedang sekarat dan di tubir sakratulmaut.

Hanya rakyat yang "bergerak" meyakini perlu menjaga kedaulatannya yang bisa diajak “melindungi” KPK. Mungkin, kita bisa “kalah” tapi kita tak boleh menyerah, seinci pun. Bisa saja kita lelah tapi tetap meyakini, semua ikhtiar tanpa batas pasti menghasilkan berkah.

DR. Bambang Widjojanto


 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.