Hari itu Rose salah naik bus. Konsekuensinya, ia sangat terlambat masuk kuliah. Padahal ia harus mengejar kelas pertama. Lantaran jadwal mepet dengan kelas kedua, mahasiswi salah satu universitas di Depok ini akhirnya memutuskan absen pada mata kuliah pertama.
“Udah telat banget, mau masuk males,” katanya.
Minggu depannya ia ditegur dosen pengampu mata kuliah tersebut. Di depan kelas, sang dosen bertanya, “Minggu lalu ke mana?”
“Sakit, Pak” jawab Rose.
“Ah, bohong. Gue tau lo di (fakultas) teknik, kan ? Udah enggak usah bohong. Gue ngikutin lo di belakang kemaren, naik sepeda.” Rose mengulang kata-kata sang dosen kepada saya. Kejadian itu membekas di kepalanya.
Rose sadar bahwa dosen tersebut sering menggodanya di dalam kelas. Misalnya, bergurau menyuruh Rose duduk dipangku karena datang terlambat; atau bercanda menyuruh Rose menginap di rumahnya saja supaya tak datang terlambat. Si dosen memang punya reputasi genit kepada mahasiswi.
Rose, saat itu masih mahasiswa strata 1, semula masih menganggap godaan bertendensi mesum itu cuma candaan. Namun, pengakuan sang dosen yang membuntutinya terang bikin Rose terkejut. “Gue mulai merasa enggak aman. Anjir! Gue mikirnya, 'Ngapain sampai gue diikutin begitu?'"
“Minggu-minggu berikutnya dia makin berani,” kenang Rose.
Hari itu sedang ujian. Rose memilih duduk di deretan kursi paling belakang—posisi itu dekat dengan pendingin ruangan. Tapi, ia masih kegerahan. Lantas mengikat rambut sebahu ke atas. “Memang hari itu potongan belakang baju gue agak rendah,” kata Rose.
Sang dosen jalan mondar-mandir di dalam kelas. Memantau. Di tengah-tengah ujian, Rose yang sedang tekun mendadak merasa tengkuknya kedinginan. “Gue pikir AC. Terus pas gue lihat belakang .... demi apa dong! Ternyata dia. Anjir! Dia niup-niupin belakang gue,” kenang Rose.
Rose tersentak. Seisi kelas spontan menoleh ke arahnya. Tapi, mereka cuma tertawa. Memaklumi perbuatan sang dosen dan menganggapnya candaan belaka. “Tapi gue kan iyuuh,” ungkap Rose.
Kejadian-kejadian itu terjadi lima atau enam tahun lalu.
Meski demikian, Rose masih mengingatnya, apalagi bila berpapasan tanpa sengaja dengan sang dosen. Maklum, kini Rose melanjutkan pendidikan strata 2 di universitas yang sama. Beberapa kali ia memang mau-tak-mau bertemu si dosen, yang sifat mesumnya belum hilang sama sekali.
Tahun lalu saja si dosen masih melecehkan Rose. Mereka tak sengaja bertemu di salah satu kantin. Rose sedang membeli kopi sambil merokok. Si dosen yang datang dengan kawan-kawan prianya bertanya kepada Rose: “Lu S2 sekarang? Lu ngerokok sekarang? Ngapain lu ngerokok itu? Mending lu ngerokok yang lain,” sambil melirik bagian bawah tubuhnya.
“Terus satu geng cowoknya itu ketawa,” kenang Rose.
Momen itu bikin emosi Rose mengembang. Ia benar-benar sakit hati. Rose menilai tak ada lagi hubungan apa-apa dengan si bekas dosen sehingga tak perlu berpura-pura menghormati lagi. Meski begitu, sambil menahan geram, ia memilih diam, enggan mencari keributan.
Tapi, dalam hati, Rose mengutuk pria baya itu yang masih terus mengajar sebagai dosen di sana.
"Cerita kelakuannya itu udah umum banget. Gue bukan satu-satunya,” kata Rose.
“Korban dia itu udah banyak banget. Cuma biasanya dalam setiap kelas itu dia punya satu-dua orang yang jadi bulan-bulanan.”
Kendati demikian, reputasi mesum sang dosen cuma jadi rahasia umum belaka. Kebanyakan orang di lingkungan kampus memakluminya sebagai candaan. Membuat para korban seperti Rose lebih memilih diam daripada ikut dikucilkan.
“Saat itu gue mau ngomong, malu. Enggak diomongin, dongkol,” ujar Rose.
Bagaimanapun, ada sekian perhitungan yang harus dipikirkan oleh mahasiswa ketika menghadapi perilaku pelecehan yang dilakukan dosen. Salah satunya, kampus sangat minim memberi tanggapan yang memuaskan atas pengaduan kasus-kasus pelecehan tersebut.
Dalam kasus Rose, ia bingung harus bagaimana bersikap di tengah kultur kampus yang menganggap wajar bercanda mesum. Belum lagi proses panjang yang harus ia jalani jika mahasiswi sepertinya coba berani melawan.
Di jurusannya saat ia masih mahasiswa strata 1, jumlah dosen masih terbatas. Kondisi ini juga tak jarang bikin seorang dosen bisa terus-menerus muncul dari semester awal sampai skripsi.
“Lu bakal ngebayangin proses panjangnya. Belum lagi disensiin dosen-dosen yang lain. Itu yang bikin, 'Yaudah deh,'” kata Rose, yang meminta saya merahasiakan nama aslinya untuk cerita ini.
Yogyakarta
Peristiwa itu terjadi pertengahan tahun 2013, tapi Putri masih mengingat hingga saat ini.
“Saya ditelepon berkali-kali, ditanya kost di mana, mau apel katanya,” kenang Putri. “Terus dia mengajak pacaran.”
Putri bukan nama sebenarnya. Mahasiswi salah satu universitas ternama di Yogyakarta ini menceritakan ulang kenangan buruknya atas sang dosen pembimbing skripsi. Ia enggan identitas diri dan kampusnya disebutkan.
Si dosen pembimbing sering mengirim pesan mesum. Awalnya, Putri berpikir godaan-godaan itu hanya berbentuk verbal. Hingga suatu kali si dosen memanggil Putri ke ruangannya.
“Waktu saya lewat di depan ruangannya, saya dipanggil,” cerita Putri. Di dalam ruangan ia diajak mengobrol. “Hampir saja dia pegang tangan saya. Saya menolak dan kabur."
Geram atas perlakuan si dosen, Putri mengerahkan keberanian untuk mendatangi kepala program studi di kampusnya. Ia menceritakan kejadian tersebut, meski tidak mendetail. Putri meminta agar dosen itu tak lagi jadi pembimbingnya.
Kepala jurusan mengabulkan permintaan Putri dan memintanya mengirim screenshot pesan-pesan mesum yang dikirim si dosen. Tetapi Putri lebih memilih enggan memperpanjang kasus itu dan menyimpan cerita pelecehan seksual itu untuk dirinya sendiri.
Putri bukan satu-satunya mahasiswa yang pernah dilecehkan di lingkungan kampus tersebut.
Untuk dosen yang sama, Ayu—bukan nama sebenarnya—pernah menerima perlakuan serupa sekitar empat tahun lalu. Hingga saat ini kejadian yang menimpa Ayu belum pernah ia ceritakan kepada siapa pun, kecuali kepada Tirto dan teman terdekatnya.
Ayu selalu jijik ketika harus menceritakan ulang kejadian itu. Persis seperti Putri, pelecehan itu dialaminya selama beberapa bulan, saat ia harus menjalani bimbingan skripsi dengan si dosen.
Si dosen itu, yang berusia hampir 50 tahun, mengajak Ayu menjalani bimbingan studi akhir sambil makan malam di sebuah restoran. Dosen itu selalu membalas pesan Ayu dengan kata-kata yang membuatnya risih. Misalnya: “Aku cuma mau ketemu di kosan kamu aja, enggak mau di kampus.”
Setiap bimbingan, si dosen selalu meminta untuk duduk bersebelahan dan menumpangkan tangan ke atas paha Ayu. Ayu gusar dan selalu menepisnya. Ia tegas menolak. Ia sadar ada yang tak beres dari sikap kurang ajar dosen itu.
Namun, pada saat bersamaan, Ayu selalu bingung harus bertindak apa saat dilecehkan. Ayu merasa butuh si dosen sebagai pembimbing skripsinya.
Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa itu membuat Ayu harus mengiyakan permintaan dosen untuk menandatangani lembar pengesahan skripsi di indekos Ayu. Kala itu Ayu menerima si dosen di ruang tamu indekos.
“Aku enggak merasa lebih baik setelah menceritakan kejadian itu ke seseorang. Aku malah merasa jijik sama diriku sendiri. Aku bingung harus bagaimana, mengambil tindakan apa, karena semuanya jadi serba salah,” ujar Ayu.
Alih-alih melaporkan ke kampus, Ayu dan Putri memilih langkah yang sama: tak melanjutkan kasus, mengubur ingatan itu dalam-dalam.
Mereka pesimis lebih dulu bahwa pengaduan mereka dilecehkan dosen akan membuat kondisi mereka lebih baik, juga akan memberi efek jera bagi pelaku, atau kampus akan menanggapinya lalu mampu menjadikan lingkungan belajar yang sehat bagi kemajuan akademik.
Dan, kisah tak sedap ini bukan cuma milik Putri dan Ayu.
Tirto mendapati setidaknya sepuluh kasus pelecehan seksual dalam kurun lima tahun terakhir terjadi di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta itu.
“Pelajaran apa sih yang bisa aku ambil sebagai orang yang pernah dilecehkan? Membuat jadi lebih waspada? Enggak juga," ujar Ayu. "Karena terlalu waspada malah membuat aku jadi anti-sosial dan cenderung enggak mau bergaul dengan laki-laki, aku enggak mau jadi seperti itu."
Medan
Yasmin, bukan nama sebenarnya, sudah tahu reputasi genit dosen satu itu. Katanya, reputasi buruk itu sudah jadi rahasia umum mahasiswa jurusannya.
Dosen itu, pria baya yang berumur 50-an tahun, memang terkenal bermulut mesum terutama kepada para mahasiswi. Ia gemar menggoda mahasiswi yang dianggapnya "cantik" di kelas, mendatangi mereka di luar jam kampus sambil merangkul lengan ke bahu si mahasiswi.
“Bahkan beberapa orang pernah cerita kalau mereka diajak pacaran,” kata Yasmin.
Jadi ketika nama dosen itu keluar sebagai dosen pembimbing skripsinya, perasaan masam menyerbu Yasmin. Ia takut mendapat pengalaman buruk yang selama ini cuma ia dengar dari cerita kawan-kawannya. Ketakutan itu terbukti benar. Si dosen sempat beberapa kali memaksa Yasmin untuk melakukan bimbingan di rumahnya, dengan syarat sendiri: tak boleh membawa teman.
Yasmin takut. Ia menolak beberapa kali, tapi justru membuat si dosen berang dan dengan sengaja mengulur-ulur waktu bimbingan skripsi. “Dia sempat kayak merajuk, gitu. Pernah dua bulan itu skripsi nganggur, enggak disentuh,” kenangnya.
Sampai suatu waktu Yasmin bersedia datang ke rumah si dosen. Sebelum pergi, Yasmin sudah lebih dulu berpesan kepada salah seorang kawan akrabnya, yang juga mahasiswi di jurusan sama. Yasmin berhitung, kawannya bisa diandalkan untuk jadi saksi bila terjadi hal yang ia takutkan.
Di rumah si dosen, seperti dugaan Yasmin, bimbingan skripsi itu diselipi godaan-godaan. Si dosen bilang "cantik" beberapa kali kepada Yasmin, dan meletakkan tangan ke paha Yasmin.
Refleks, Yasmin menepisnya. Suara Yasmin meninggi, dan spontan mengancam sang dosen sebagai upaya membela diri: “Jangan macam-macam, Pak. Saya bisa laporin ke polisi.”
Si dosen seingatnya langsung bersikap defensif. “Saya enggak ngapa-ngapain, kok. Kamu mau lapor apa, orang enggak ada lecet.”
“Dia juga sempat bilang, 'Saya enggak usah sok kecantikan,'” cerita Yasmin kepada saya.
Anehnya, usai bimbingan skripsi di rumah itu, sang dosen berubah tabiat. Ia jadi lebih ketus dan dingin, tapi “bimbingan skripsi saya malah jadi lancar,” katanya.
Yasmin bersyukur ia tak perlu melewati waktu lebih lama dengan dosen tersebut, tapi tetap saja pengalaman itu sukar lepas dari memorinya. Bahkan sampai sekarang, tiga tahun selepas kejadian itu.
Sebelum bertemu Yasmin, kami sempat bertemu empat mahasiswa lain yang punya pengalaman serupa dengan dosen tersebut. Seperti Yasmin, semuanya merahasiakan nama. Dua di antaranya bahkan enggan menceritakan ulang kejadian yang dialaminya dengan alasan trauma. Sementara dua lain punya cerita sama: si dosen mengajak pacaran dan memeluk bahu.
Kenapa Hanya jadi Rahasia?
Kisah Rose, Putri, Ayu, Yasmin adalah sekelumit kasus pelecehan seksual di kampus yang berhasil dihimpun Tirto. Beberapa cerita tak bisa kami bagikan karena menghormati keputusan korban. Alasannya? Kebanyakan dari mereka ingin melindungi identitas diri dari stigma.
“Gue bisa paham kenapa pada akhirnya banyak yang enggak mau bercerita,” kata Rose. “Karena ini emang enggak gampang. Pertaruhannya bakal panjang banget.”
Pertama, karena kebanyakan orang masih tak mengenal bentuk-bentuk pelecehan seksual. Kebanyakan hanya akan menganggap beberapa contoh kejadian di atas cuma bercanda.
“Entar gue yang dikira terlalu sensitif, cari perhatian, dan ujungnya masih disalah-salahkan,” kata Rose.
Alasan serupa diungkapkan Putri, Ayu, dan Yasmin.
Perkara lain: tiada jaminan hukum dan ketegasan dari kampus. Alhasil, mendiamkan dan tak melaporkan kejadian pelecehan seksual itu jadi satu-satunya opsi yang terpaksa mereka pilih.
Yasmin sadar bila sikap diam ini bisa jadi malapetaka buat mahasiswi lain. “Tapi, kalau saya cerita, belum tentu orang-orang akan percaya kata-kata saya. 'Bapak itu benar. Saya enggak lecet.' Bisa-bisa saya yang dibilang centil,” tambahnya.
“Tapi, ya harusnya saya enggak perlu lecet dulu supaya satu kampus sadar kalau bapak itu mesum!”
Rose menyatakan poin penting lain tentang hukum Indonesia yang masih bias terhadap korban pelecehan dan kekerasan seksual. “Korban perkosaan aja masih susah urusannya di kantor polisi,” kata Rose.
“Seberapa jauh sih lo dibela kalau cuma pelecehan verbal begitu. Tanpa visum dan bla bla bla ... Ya akhirnya lebih banyak yang pilih diam,” ujar Rose.
Penulis : Aulia Adam