Akhirnya nilai tukar rupiah menyentuh Rp 14.600 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan tersebut memukul dunia usaha. Mereka mencemaskan prospek perekonomian.
Nilai rupiah terus mengalami penurunan. Kemarin, rupiah terjungkal ke level Rp 14.600. Pelemahan tersebut memberikan pukulan psikologis dunia usaha. Sebab posisi tersebut merupakan terlemah sejak Oktober 2015.
"Pegerakan dolar yang terus menyentuh Rp 15 ribu itu bagi pelaku usaha sama halnya mimpi buruk yang menjadi kenyataan," ungkap Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Johnny Darmawan kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Johnny menuturkan, pelemahan tersebut sudah jauh meleset dari asumsi awal pemerintah rupiah berada di level Rp 13 ribu per dolar. Dengan kondisi seperti ini, dia yakin para pengusaha sekarang sedang berlomba-lomba mencari solusi agar tidak mengalami kerugian yang besar.
Salah satunya, Jhonny memproyeksi, mereka terpaksa menempuh cara menaikkan harga jual barang. Karena saat ini biaya pembelian bahan baku sudah lebih tinggi dari harga jual produk.
"Posisi dunia usaha sudah kejepit. Kondisi mau tidak mau memaksa menaikkan harga, tetapi saat ini daya beli lemah," keluhnya.
Apalagi, lanjut Johnny, pelaku usaha menghadapi beban pembayaran utang yang mengalami pembengkakan akibat pelemahan kurs.
Johhny meminta, pemerintah mengatasi pelemahan kurs. Jika tidak akan mematikan dunia usaha. "Pemerintah harus menjaga stabilitas rupiah agar kepercayaan publik kembali meningkat," harapnya.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat memastikan, pelemahan rupiah akan mempengaruhi penjualan.
"Untuk pasar dalam negeri tentu akan ada pengaruhnya. Karena pelemahan rupiah mempengaruhi daya beli," kata Ade.
Ade menyebutkan, penjualan tekstil di dalam negeri cukup besar, mencapai lebih 70 persen. Bila terjadi penurunan penjualan tentu memberikan pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Untuk bahan baku, Ade memastikan pelemahan rupiah tidak memberikan pengaruh sama sekali. Karena, umumnya pelaku usaha melakukan kontrak pembelian sejak awal tahun untuk selama satu tahun dengan acuan kurs saat itu.
Rupiah Masih Rawan
Ekonom Institute for Development Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, pelemahan rupiah salah satunya disebabkan sentiment internal. Salah satunya keterangan Bank Indonesia (BI) yang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,1 persen.
"Sentimen itu mengubah pasar menjadi pesimistis," kata Bhima.
Selain itu, lanjut Bhima, hasil rapat Dewan Gubernur BIyang memutuskan tidak menaikkan tingkat suku bunga acuan sampai akhir tahun 2018 juga jadi pemicu. Hal itu membuat investor cenderung menahan diri.
Padahal, Bhima menjelaskan, ruang pengetatan moneter masih ada setidaknya sekali lagi. Bhima melihat ada kemungkinan BI sedang menunggu fenomena super dolar yang akan memuncak pada pertengahan semester kedua tahun ini.
Bhima memprediksi, tekanan dolar akan mencapai puncaknya di September atau Oktober 2018. Saat itu, tekanan terhadap kurs rupiah juga akan membesar. "Pada saat puncak nanti rupiah bisa mencapai titik paling rendah di kisaran Rp 14.700 per dolar AS," katanya.
Bhima menyarankan pemerintah mengeluarkan gebrakan di sisi fiskal untuk mengatasi pelemahan rupiah. Sejauh ini, kebijakan moneternya sudah jor-joran. BI sudah menaikkan suku bunga acuan. Tapi dari fiskal belum ada gebrakan.
Contohnya, memberikan keringanan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan bea keluar untuk industri berorientasi ekspor. Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan perbaikan infrastruktur pendukung pariwisata agar pemasukan devisa semakin besar.