Jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan, Maka Free Sex Bebas ?
Jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan, Maka Free Sex Bebas ?

Jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan, Maka Free Sex Bebas ?

Kasus Baiq Nuril salah satu isu pemantik yang membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini kembali marak diperbincangkan



Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah masuk ke dalam pembahasan di DPR sejak tahun 2016 sekilas tampak baik. Bahkan para aktivis perempuan pun sangat antusias mendesak agar RUU ini segera disahkan.

Mengingat semakin banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa kaum hawa. Salah satu isu pemantik yang akhirnya membuat RUU ini kembali marak diperbincangkan adalah kasus Baiq Nuril, seorang guru di Mataram yang mendapat kekerasan seksual secara verbal oleh kepsek tempatnya mengajar.

Namun benarkah dengan disahkannya RUU P-KS ini kasus kekerasan seksual akan selesai ? Atau justru akan memunculkan permasalahan baru ? Mengingat beberapa pasal yang tertuang di dalam draft RUU tersebut justru menuai banyak kontroversi. Tak heran jika akhirnya, RUU P-KS ini banyak mendapat penentangan dari beberapa kalangan.

Di antara pasal-pasal yang kontroversial adalah pasal 5 ayat (2) yang mengungkapkan bahwa salah satu bentuk kekerasan seksual adalah berupa kontrol seksual. Artinya bahwa setiap orang hendaknya tidak mengusik segala bentuk aktivitas seksual orang lain, sekalipun menyimpang. Orientasi seksual setiap orang dibebaskan sebagaimana yang dia inginkan.

Maka aktivitas seks menyimpang, LGBT, akan menjadi legal dan sah di mata hukum. Siapapun yang berupaya melakukan kontrol akan hal tersebut, maka akan dikenai sanksi pidana. Termasuk para orangtua jika mengontrol aktivitas seksual anaknya, misalnya melarang sang anak untuk tidak melakukan hubungan seks pra nikah.

Lebih jauh lagi, pada pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Berarti para orangtua tidak boleh meng-intervesi anaknya dalam hal berpakaian.

Jika anaknya ingin 'telanjang', maka orangtua tidak berhak memaksanya untuk berhijab. Karena akan terkena delik pidana.

Tak hanya itu, pada pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan. Ini artinya seorang istri berhak menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seks. Suami juga tidak boleh memaksa, karena akan dianggap sebagai pemerkosaan dalam rumah tangga.

Sungguh miris! Potret liberalisme sangat pekat terlihat. Dapat dipastikan, jika RUU P-KS itu disahkan, maka liberalisme kian terwujud kaffah di negeri mayoritas muslim ini. Syariat Islam semakin tersingkirkan.

Bagaimana tidak, dalam ajaran Islam, seorang istri tidak boleh menolak ajakan suaminya ke ranjang. Rasulullah saw bersabda:

Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk jima'/bersetubuh) dan si isteri menolaknya sehingga (membuat) suaminya murka, maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat hingga (waktu) Shubuh - (HR.Bukhari)

Jadi, istilah 'pemerkosaan dalam rumah tangga' adalah suatu hal yang menyesatkan yang lahir dari ide kebebasan dan kesetaraan gender. Ini jelas berbahaya !

Dalam Islam soal berpakaian telah diatur. Batasan aurat laki-laki maupun perempuan pun telah jelas dalam syariat. Bahwa aurat laki-laki adalah dari pusar hingga lututnya, adapun perempuan seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.

Maka seorang muslimah wajib menutup auratnya secara sempurna apabila berada di kehidupan umum. Hal tersebut merupakan perintah Allah.

Wajar jika ada seruan yang mengajak para muslimah untuk berhijab, sebagai konsekuensi atas iman. Termasuk para orangtua yang melarang anaknya tampil mengumbar aurat. Namun mirisnya dalam RUU P-KS, kontrol sosial semacam itu tidak dibenarkan.

Kini Akses pornografi kian mudah, sehingga anak SD pun mampu menjangkaunya lewat gadget. Oleh karena itu, banyak generasi muda yang terpapar pornografi sejak dini. Otak mereka ditumpulkan dari daya intelektualitas.

Belum lagi, adanya budaya hedonis yang tumbuh subur. Bahkan setiap orang beranggapan sah-sah saja mengumbar aurat, karena tubuhku adalah hakku. Sehingga dari situlah memicu terjadinya pelecehan seksual.

Rancang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang digodok di Komisi VIII DPR RI menuai penolakan. Pasalnya, RUU ini dinilai sarat aroma liberalisme dan pro zina serta sarat dengan konsep Barat yang liberal.

Akan seperti itu lah produk hukum buatan manusia. Tergantung misi si pembuat dan siapa yang "memesan" hukum tersebut. Membuat hukum hanya berdasarkan kepentingan.

Belum jadi undang-undang pun, free sex, LGBT dan pornografi sudah merajalela apalagi jika sudah ketok palu.

Oleh :
- Hana Annisa Afriliani,S.S (Penulis Buku)
- Merli Ummu Khila

*edited by admin

 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.