JARILANGIT.COM - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir angkat suara terkait pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj saat perayaan Harlah Muslimat NU ke-73 di Gelora Bung Karno yang berujung polemik.
Meski tak ingin pernyataan itu terus jadi polemik, Haedar juga mengingatkan agar Indonesia tak didominasi oleh golongan apalagi bermazhab golongan tertentu.
Soal pernyataan Said Aqil, Haedar meminta agar persyarikatan (Muhammadiyah) dan umat Islam bijak menunjukkan sikap yang dewasa dalam menyikapinya.
"Tetap ciptakan suasana tenang dan ukhuwah, tidak perlu bereaksi melebihi takaran. Tunjukkan warga Persyarikatan cerdas dan dewasa," kata Haedar seperti dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah.or.id, Senin (29/1/2019).
Namun Haedar juga mengingatkan bahwa negara dan instansi pemerintahan, termasuk Kementerian Agama, harus menjadi milik bersama sebagaimana amanat konstitusi, bukan menjadi milik golongan tertentu.
Haedar menuturkan bahwa Muhammadiyah tentu sangat berharap dan berpandangan bahwa negara dan instansi pemerintahan Indonesia harus menjadi milik bersama sebagaimana amanat konstitusi, bukan menjadi milik golongan.
"Pemerintahan harus berasaskan meritokrasi atau dasar kepantasan dan karir, jangan di atas kriteria primordialisme atau sektarianisme. Jika Indonesia ingin menjadi negara modern yang maju, maka bangun good governance dan profesionalisme, termasuk di Kementerian Agama," terang Haedar.
Selain itu, bukan juga berdasarkan kriteria golongan, apalagi dijadikan milik golongan tertentu. Jika primordialisme dibiarkan masuk dan dominan dalam institusi pemerintahan maka akan menghilangkan objektivisme dan prinsip negara milik semua.
"Bahayanya jika hal itu dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi, bahkan dapat memicu konflik atau perebutan antargolongan di Indonesia," imbuh Haedar.
Haedar menegaskan, Indonesia juga jangan didominasi oleh satu golongan atau bermazhab golongan tertentu. Apalagi jika pandangan golongan itu menegasikan komponen bangsa lainnya, dengan menganggap diri paling benar. Hal itu merupakan bentuk dari fatanisme dan menjurus ke radikalisme.
"Mau dikemanakan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika?," katanya.
Selain itu, Haedar juga mengimbau, hendaknya semua tokoh umat dan bangsa penting mengedepankan ukhuwah secara autentik untuk merajut kebersamaan nan tulus dan tidak mengedepankan egoisme golongan.
"Di tahun politik ini jauhi ujaran-ujaran yang berpotensi menumbuhkan retak di tubuh umat dan bangsa, jika ingin Indonesia rukun dan utuh sebagaimana sering disuarakan dengan penuh gelora," tutur Haedar.
Para pemimpin agama niscaya menampilkan uswah hasanah dan tidak menebar resah agar umat makin santun dan bijaksana.
"Mari ciptakan suasana damai dan keadaban mulia dalam berbangsa," ajak Haedar.
Namun demikian, Haedar berharap pidato Ketum PBNU tidak perlu ditanggapi berlebihan.
"Hendaknya pernyataan Kyai Aqil Siradj jangan jadi polemik di lingkungan umat Islam dan masyarakat, lebih-lebih di tahun politik. Semua pihak diharapkan bijak dan tidak memperpanjang masalah ini. Kita lebih baik mengedepankan ukhuwah dan mengerjakan agenda-agenda yang positif bagi kemajuan umat dan bangsa," pungkas Haedar.
Sebelumya, Said Aqil menyatakan warga NU mesti berperan dalam berbagai bidang di masyarakat. Salah satunya di bidang keagamaan. Jika tidak dipegang oleh warga NU maka menurut Said Aqil akan salah semua.
"Imam masjid, khatib, KUA (kantor urusan agama), harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua," kata Said.
Said kemudian menolak mencabut pernyataannya itu. Kritik untuk Said Aqil itu sebelumnya disampaikan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas yang menilai ucapan Said membahayakan umat dan tak memiliki akal sehat.
"Sekjen MUI minta saya mencabut ungkapan kemarin itu. Saya atau NU ini bukan bawahan majelis ulama. Jadi tidak ada hak perintah-perintah saya," ujar Said saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan rapat koordinasi nasional Lembaga Dakwah NU di Bidakara, Jakarta, Senin (28/1/2019). (Ferdiansyah/ts)
*Meritokrasi
McNamee menyatakan bahwa meritokrasi adalah sistem yang menekankan kepada kepantasan atau kelayakan seseorang menduduki posisi atau jabatan tertentu. Kepantasan di sini sebagai kemampuan. Tanpa memandanglatar belakang etnis, afialiasi politik, atau status sosial mereka. (red)