28 Januari 2019 kemarin, menjadi hari kelabu bagi keadilan di Indonesia. Pasalnya, ada satu kasus yang dianggap masuk ranah ujaran kebencian dibacakan vonis oleh majelis hakim.
Dalam amar putusan, hakim ketua Ratmoho menyatakan terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ujaran kebencian, seperti dikutip dari detikcom.
ADP dinyatakan secara sah telah melanggar ketentuan Pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal yang belakangan bermetamorfosa menjadi hatzaai artikelen bagi pengkritik penguasa atau barisan oposisi. Memaki predikat pendukung penista agama, dinilai hakim yang mulia sebagai kejahatan. Padahal tidak ada social destruction akibat cuitan ADP, terkait kekesalan dirinya perihal mulut kotor mantan Napi penista Agama.
Hal ini kemudian membangkitkan memori massa pada zaman Orba, siapa saja yang berseberangan dengan rezim. Serta merta pasal subversif akan menelikung dirinya. Kemunduran yang menyedihkan bagi semangat reformasi. Yang sejatinya telah menelan 4 martir mahasiswa. Serta ratusan rakyat lainnya yang meregang nyawa, saat terpanggang akibat diprovokasi oleh oknum kekuasaan di tahun 1998.
Ada satu segi menarik, ketika melihat betapa hukum di negeri ini sangat trengginas ketika hukum berhadapan dengan orang biasa. Atau katakanlah rakyat kebanyakan. Hukum begitu by the text, on track dengan akselerasi yang mengagumkan. _Cepat, efektif tanpa pandang bulu. Fiat justitia ruat caelum seperti terbentang megah di angkasa hukum nusantara._
Tapi ironisnya. Publik juga mencatat. Bahwa ada beberapa kasus hukum yang mendapatkan atensi publik. Justru seperti ditarik ulur. Diduga oleh tangan-tangan kekuasaan. Misalnya saja kasus royson, nathan suwanto, viktor laiskodat, ade armando, deni siregar, permadi arya, sukmawati soekarnoputri, dan megawati soekarnoputri. Mengapa semua kasusnya mandek, jalan di tempat dan akhirnya lenyap perlahan dari ingatan publik?
Apa yang salah? Jenis pelaporan sama, pasalnya bisa jadi sama, statusnya sama-sama warga negara, institusi yang memprosesnya juga sama. Cuma bedanya, kasus ADP menjadi cepat. Diduga karena dia berdiri di barisan oposisi. Sementara yang lainnya justru berada di inner cycle kekuasaan. Ada di sumbu istana. Mengawang-awang jauh diatas hukum itu sendiri.
Publik akhirnya akan menilai demikian. Karena secara logika manapun akan mentok dibuatnya. Apalagi ditinjau dari segi kronologis. Jelas lebih dulu 8 orang tadi dilaporkan. Namun hitungan minggu untuk molor, masih dirasa belum cukup. Minimalnya mungkin tahunan. Maksimalnya orang diharapkan akan lupa akan kasus tadi. Dungu.
Yang terbaru adalah soal ditutupnya akun media sosial facebook milik Permadi Arya alias Abu Janda. Sosok kontroversial yang dekat dengan barisan serbaguna / Banser. Semacam aset intelijen. Dalam banyak kesempatan, Abu Janda bahkan berani menyebut dirinya seorang “ustadz” dengan embel-embel Al Boliwudi.
Dikutip dari CNN, Kepala Kebijakan Keamanan Siber Nathaniel Gleicher menjelaskan pihaknya telah mencatat perilaku tidak asli yang terkoordinasi dalam akun Facebook di Indonesia. Akibat hal tersebut, Facebook melakukan banyak penghapusan akun dan grup. Dalam keterangan yang dikeluarkan pada 31 Januari 2019.
“Karena menyesatkan orang lain tentang siapa mereka dan apa yang mereka lakukan. Semua halaman, akun, dan grup ini ditautkan ke Grup Saracen, sindikat online di Indonesia, dan kami menghapus 207 halaman Facebook, 800 akun Facebook, 546 grup Facebook, dan 208 akun Instagram,” papar perusahaan dalam halaman resminya pada 31 Januari lalu.
Kekacauan hukum ini disinyalir akibat adanya virus kapitalisasi dalam bidang politik. Yang lumrah diketahui, dunia politik tentu membutuhkan modal yang besar. Untuk menang tentunya. Dengan haluan kapal yang autopilot seperti sekarang ini. Hukum akhirnya menjadi subordinat dari politik. Berfungsi manakala ada lawan politik yang terserempet kasus. Menjadi impoten bin lemah syahwat, tatkala ada kawan yang terbukti bersalah.
Mereka selalu gagah menyebut, Indonesia negara hukum. Hukum sebagai panglima. Tapi prakteknya mereka memakai pola zaman kerajaan. Siapa saja yang bersedia menjilati kaki kekuasaan, akan aman. Sebaliknya, jika dinilai kritis dan membahayakan kursi baginda. Hukum yang tajam kebawah tadi akan menebasnya.
Dalam catatan penulis, ada dua keanehan terkait tuduhan saracen yang belakangan tidak terbukti. Pertama adalah kasus Asma Dewi.
• Asma ditangkap polisi pada 8 September 2017 dengan indikasi terkait sindikat penyebaran hoaks, Saracen. Kala itu, Asma pun diketahui sebagai Sekretaris Presidium Alumni Aksi 212. (CNN 15/03/2018).
• Sesampainya di Cyber Crime Bareskrim Polri, Dewi menyatakan dia ditangkap terkait unggahannya di Facebook tahun 2016. Perihal kata “china” dan “rezim koplak”
Yang kedua adalah, tuduhan pada Jasriadi semuanya mentah tak terbukti. Bahkan dakwaan jaksa bahwa Jasriadi menggunakan identitas KTP saksi Suarni yang telah diubah menjadi identitas atas nama Saracen untuk memverifikasi akun Facebook Saracen. Namun semua dakwaan itu tidak terbukti di persidangan.
Hakim juga menyatakan Jasriadi tidak terbukti menerima uang ratusan juta rupiah karena membuat akun anonim sebanyak Rp 800 ribu. Dengan demikian, Jasriadi terbebas dari sangkaan pihak kepolisian melakukan ujaran kebencian terstruktur dengan motif ekonomi. Tuduhan menerima transfer jutaan rupiah juga tidak ada dalam dakwaan jaksa.
Sementara, jika memang hukum tidak berpihak. _Seharusnya rilis keterangan resmi Nathaniel Gleicher dari Facebook Indonesia sudah lebih dari cukup, untuk menjerat Permadi Arya dengan pasal-pasal dalam UU ITE._ Setidaknya menghadirkan dirinya di Bareskrim, untuk ditanyakan aktivitas dia sebagai pengelola halaman facebook Ustad Abu Janda Al Boliwudi.
Coba lihatlah beberapa contoh postingan Permadi Arya. Yang menurut hemat penulis, sudah masuk ranah pidana pasal 156a. Dimana disitu dikatakan : Isi surat Al Ikhlas sebagai Lakum Dinnukum Waliyadin. Isi surat Al Kafirun Ayat 6.
Bukankah semua warga negara berkedudukan sama didepan hukum? Jika penegakan hukum cuma melalui selera petinggi negeri. Oh ini membela rezim, oh itu oposisi. Berapa banyak social destruction yang akan terpantik? Berapa banyak kesesatan nalar akan menular didalam masyarakat itu sendiri? Akhirnya, rakyat malah dibikin dungu.
Permadi Arya, Abu Janda dan sejenisnya. Lebih pantas berlama-lama di depan meja penyidik. Bahkan digelandang kedalam penjara sekalipun. Publik justru akan mengapresiasi kinerja aparat hukum. Bukankah semuanya sekarang sedang diingat dalam memori publik? Dicatat dalam buku keabadian, sebagai kaledioskop ketimpangan hukum.
Lihatlah sikap Abu Janda terkait ditutupnya akun sosial media miliknya. Dia malah menuntut balik pihak Facebook, sebesar 1 Triliun. Motif ekonomi menjadi sangat kentara. _Bisa diartikan ; facebook telah menutup ‘rezeki’ dia dari pendapatan utama soal perilaku memfitnah, mengadu domba, memprovokasi umat islam selama ini. Apakah kalian tidak berfikir?
ADP, Jonru, UAT, Buni Yani dan Asma Dewi_ adalah cuma sederet nama. Yang telah menjadi energi perlawanan bagi rakyat semesta.
Percayalah wahai rezim, kalian sedang menggali lubang kubur kalian sendiri. (mumtaz)