Jujur dan adil adalah dasar konstitusional dan fundamen moral bagi pemilihan umum (pemilu). Tanpa dasar dan fundamen ini pemilu tak akan berjalan secara demokratis dan merepresentasikan pilihan serta harapan rakyat.
Karena itu, menjadi tanggung jawab bersama seluruh anak bangsa, terutama KPU, Bawaslu dan institusi kepolisian untuk mengawal pemilu agar prosesnya dilalui dengan jujur dan adil.
Jujur dan adil juga menjadi prinsip etik yang mampu menjaga kompetisi dalam pemilu berjalan aman dan damai. Jujur dan adil menjadi bingkai utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Siapapun pemenangnya, selama demokrasi dijalankan sesuai aturan yang ada dan menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku, maka rakyat akan bisa menerima dengan berlapang dada. Pemenang dan yang kalah akan sama-sama menghargai dan berkomitmen menjaga hasilnya.
Mengingat bahwa pilpres dalam prosesnya memunculkan terjadinya pembelahan pendukung, maka rawan terjadi benturan dan gesekan. Pemilu yang dijalankan secara jujur dan adil akan berfungsi secara efektif meredam potensi benturan dan gesekan dua kelompok militan dari pendukung tersebut.
Sebaliknya, jika pemilu sarat kecurangan, maka akan dapat mendorong terjadinya benturan yang semakin besar antar dua kelompok. Di sinilah potensi chaos menemukan pemantiknya.
Karena itu, dalam rangka mengantisipasi terjadinya benturan di pemilu kali ini, maka segala potensi kecurangan harus sedini mungkin diantisipasi. Tujuannya adalah pertama, agar pemilu berjalan secara demokratis. Ini akan menjadi taruhan nama baik Indonesia di mata dunia internasional. Kedua, hasil pemilu betul-betul merepresentasikan suara dan harapan rakyat.
Sehingga, siapapun yang terpilih akan mendapatkan legitimasi dan dukungan mayoritas rakyat. Dan yang ketiga, mengendalikan potensi benturan antar para pendukung paslon yang dipicu oleh adanya kecurangan.
Dari hasil pengamatan, pengecekan dan penelitian yang serius, sungguh-sungguh dan mendalam selama ini, telah ditemukan adanya potensi kecurangan yang sangat besar.
Potensi kecurangan yang paling parah dan secara signifikan dapat mempengaruhi hasil pemilu diantaranya adalah di DPT (Daftar Pemilih Tetap). Di antara rincian hasil temuan itu adalah:
Pertama, ditemukannya data pemilih yang janggal dan tidak wajar, yakni pemilih dengan tanggal kelahiran 1 Januari, 1 Juli dan 31 Desember dalam jumlah yang sangat besar, masing-masing 2,3 juta, 9,8 juta dan 5,4 juta, dengan total sekitar 17,5 juta.
Kedua, data yang tidak wajar tersebut berasal dari data invalid, data ganda, dan data yang tidak melalui proses coklit (pencocokan dan penelitian). Sebagai contoh, ditemukan di sebuah TPS adanya 228 orang yang lahir pada tanggal yang sama. Keanehan ini terdapat pada ribuan TPS yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu.
Ketiga, ditemukannya dugaan duplikasi data Kartu Keluarga (KK) dan/atau Nomor Induk Kependudukan (NIK), sehingga berimplikasi pada jumlah DPT ganda dalam jumlah jutaan pada 5 provinsi di Pulau Jawa.
Keempat, ditemukan pula data KK yang manipulatif, satu KK ada yang berisi ratusan hingga ribuan orang di Banyuwangi, Magelang, dll. Hal ini merupakan manipulasi serius yang melanggar Pasal 488 UU Pemilu No.7/2017.
Kelima, temuan DPT invalid ini terjadi di beberapa wilayah dengan konsentrasi jumlah kasus terbesar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan Yogyakarta. Bila ditambah dengan beberapa wilayah lain, total akumulasi dugaan DPT tidak wajar meliputi sekitar 17,5 juta kasus.
Ditemukannya DPT yang mengandung banyak ketidakwajaran, tidak logis dan invalid ini merupakan persoalan yang sangat serius. Fakta ini dapat mengancam Presiden-Wakil Presiden terpilih kehilangan legitimasi dari rakyat.
Jika ini terjadi, maka hampir pasti akan terjadi chaos yang jika tak terkendali akan berujung ke arah terjadinya people power, bahkan bisa saja meluncur menjadi revolusi.
Pemerintahan yang tidak mendapatkan dukungan rakyat akan berada dalam posisi sangat lemah dan rawan untuk dijatuhkan oleh people power. Jika ini sampai terjadi, maka negara bangsa (nation state) yang diletakkan dasar-dasarnya oleh para pendiri bangsa dapat berakhir menyusul nasib Uni Sovyet dan Jugoslavia.
Kita semua tidak ingin itu semua terjadi. Dan kita semua berharap Indonesia tetap utuh dalam damai dan persatuan. Maka dari itu, untuk mencegah agar semua itu tidak terjadi maka kami meminta KPU dan seluruh lembaga terkait, khususnya Kementerian Dalam Negeri RI untuk segera menyelesaikan persoalan DPT di atas.
KPU Pusat tidak cukup hanya melakukan pencocokan dan penelitian melalui seluruh aparat yang dimiliki, tetapi juga harus turun ke lapangan dalam rangka validasi dan verifikasi data DPT secara akurat. Metode kredibel yang digunakan untuk perbaikan dan penyelesaian masalah DPT tersebut pun harus disiapkan secara seksama dan diumumkan kepada publik.
Sesuai dengan keputusan Rapat Pleno KPU tanggal 15 Desember 2018, DPT Final seharusnya ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 17 Maret 2019. Faktanya, saat ini batas waktu tersebut telah terlewati dan DPT Final tak kunjung ditetapkan.
Padahal, sesuai prinsip pemilu demokratis “one man one vote”, maka setiap suara dari 17,5 juta DPT bermasalah tersebut harus dicoklit, untuk diverifikasi dan divalidasi satu per satu! Validasi 17,5 juta DPT bermasalah tidak cukup hanya dilakukan melalui proses sampling seperti yang dijelaskan oleh Komisioner KPU, Viryan Aziz pada saat seminar pada 26 Maret 2019 di Gedung DPR.
Dengan waktu tersisa menuju Pemilu 2019 tinggal 8 hari lagi, kami menuntut KPU, Pemerintah dan DPR untuk segera membuat keputusan atas DPT bermasalah tersebut sebagai berikut:
1. Memutuskan agar seluruh 17,5 juta DPT yang bermasalah segera dihapus dari DPT Pemilu 2019, dan dilakukan verifikasi ulang pada DPT bermasalah tersebut untuk dimasukkan dalam DPK (Daftar Pemilih Khusus).
2. Memastikan TPS-TPS tambahan untuk disiapkan di lapas, rumah sakit dan panti sosial bagi warga negara Indonesia. Pada saat yang sama memastikan bahwa data pemilih bagi yang pindah di TPS tambahan tersebut dicoret di alamat asalnya.
3. Untuk kepentingan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional dan dapat mengakomodasi berbagai perubahan pada butir 1 dan 2 di atas, terlebih dahulu perlu disiapkan payung hukum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Meminta Komisi II DPR RI memanggil KPU untuk menjamin selesainya DPT Final sebelum Pemilu 2019, termasuk menyelenggarakan RDPU yang melibatkan para nara sumber dan pakar yang berbicara pada seminar.
Sejalan dengan hal-hal di atas, kami juga mendesak dan mendorong Bawaslu untuk memperkuat pengawasan terhadap KPU. Dan kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat dan segenap rakyat Indonesia untuk terlibat aktif menyuarakan tuntutan di atas.
Pada saat yang sama kami berharap masyarakat juga berperan aktif untuk mengawasi dan memverifikasi calon pemilih dengan mencocokkan DPT dengan calon pemilih di TPS masing-masing.
Jika 17,5 juta DPT bermasalah ini tidak segera diperbaiki dan terdapat bukti-bukti yang telakdiyakini telah menjadi faktor kemenangan paslon tertentu, maka kami khawatir hal ini dapat memicu terjadinya keributan, chaos atau situasi yang membahayakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Semoga Tuhan YME berkenan menolong upaya bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan Pemilu 2019 yang adil, jujur, berkualitas, berintegritas, sehingga menjadi pemilu yang bisa diterima sepenuhnya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Oleh: Dr. Marwan Batubara (Barisan Masyarakat Peduli Pemilu Adil & Berintegritas–BMPPAB)