JARILANGIT.COM - Para pengusaha industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat merasa terancam dengan derasnya produk impor yang mayoritas dari China. Hal tersebut terjadi sejak keluarnya Permendag No 64 tahun 2017.
Salah satunya diungkapkan oleh pengusaha sarung tenun asal Majalaya Agus Ruslan. Menurut Agus aturan tersebut mengizinkan importir pemegang izin Angka Pengenal Importir Umum (API-U) mengimpor beragam produk TPT dengan sangat mudah termasuk sarung dan kain tenun yang diproduksi Industri Kecil dan Menengah (IKM) Majalaya.
"Akibat banjir produk impor ini kita tidak hanya omset turun, tapi malah pabrik tutup. Terakhir 3 pabrik paling besar tutup karena tidak bisa bersaing. Salah satunya produksinya mencapai 20 ribu kodi per bulan saat ini tidak ada selembar pun yang diproduksi," kata Agus mewakili ratusan IKM Sarung Majalaya di Bandung dalam keterangannya, Sabtu (25/5/2019).
Saat ini, kata Agus, seluruh IKM di Majalaya berusaha keras bertahan dari gempuran produk impor. Sebab produk sarung buatan IKM Majalaya sangat sulit bersaing karena biaya produksinya yang cukup tinggi dibanding China.
"Harga bahan baku di sini lebih mahal karena kita berbelanja dengan menggunakan dolar. Ketika dihantam seperti ini bukan hanya nilai omset saja yang dibicarakan tapi bagaimana bisa bertahan ke depan. Siapa lagi yang akan tutup pabrik," ucapnya.
IKM sarung tenun di Majalaya yang semula mencapai 350 pabrik sejak krisis moneter terus berkurang. Bahkan kini dengan gempuran produk China jumlahnya tersisa 45 pabrik.
Keluhan juga diungkapkan oleh pengusaha lainnya Deden Sunega. Menurutnya, penjualan sarung meski menjelang lebaran tidak ada peningkatan. Biasanya, kata Deden, ada peningkatan 2-3 kali lipat dari biasanya.
Menurut Deden, pabriknya yang memproduksi kain puring sudah tidak lagi beroperasi. Deden mengatakan saat ini hanya sekitar 30 persen pabrik kain puring yang masih bertahan.
"Tidak hanya kain pokok saja yang kena (imbas), ini kain puring juga kena imbas. Ketika banyak pakaian jadi yang masuk keseret sampai hulunya," ucapnya.
Hal itu juga turut diamini oleh pengusaha konveksi M Dean Irvandi. Bahkan Dean menyebut orderan terus menurun karena pelanggannya mulai memilih untuk memesan kaos ke importir. Sebab, ia mendapatkan informasi adanya kaos polos yang dijual importir Rp 18 ribu per helai.
"Biasanya dua minggu sebelum lebaran itu orderan sudah harus selesai, sekarang belum ada (orderan). Anjloknya hampir 50%," ujarnya.
Sementara itu Pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Rizal T menilai bukan daya beli melainkan banjir produk impor lah yang menjadi penyebab dari turunnya kinerja industri di tanah air. Daya beli masyarakat masih kuat, hanya peluang tersebut justru diambil oleh produk impor. "Pasar masih punya kemampuan, tapi pasarnya dikasih ke luar (impor)," ujarnya. (FD)
Investor Tekstil Cina Masuk 2020, Bakal Hemat Impor USD 1 Miliar
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional bakal makin semarak, seiring masuknya investor asal Cina di sektor tersebut. Pabrik dengan nilai investasi sekitar Rp6 triliun ini diperkirakan mulai beroperasi pada 2020.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, mengatakan pabrik baru tersebut relokasi dari Negeri Tirai Bambu. Pembangunan pabrik, yang akan memproduksi benang, kain, terutama bahan kemeja, hingga proses finishing ini salah satunya didorong oleh buyer di Amerika Serikat dan Eropa agar membangun pabrik di Indonesia sehingga bisa langsung link and match dengan industri pakaian jadi nasional.
"Nanti bisa mengurangi impor sekitar US$1 miliar. Dengan dia pindah ke sini tentu buyer juga diuntungkan karena proses pengiriman lebih pendek dan cepat," ujarnya di Jakarta, Kamis 28 Maret 2019.
Saat ini, investor asal Cina tersebut sedang dalam proses pembebasan lahan. Lokasi pabrik ini berada di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah. Peningkatan ekspor TPT dengan pembangunan pabrik ini diperkirakan mulai terlihat pada 2021. Pada tahun ini, ekspor TPT Indonesia diproyeksikan senilai US$15 miliar, naik dari tahun lalu yang sekitar US$13,8 miliar. (bisnis)