Om Sam Mulai 'Gebuk' Jokowi ?
Om Sam Mulai 'Gebuk' Jokowi ?

Om Sam Mulai 'Gebuk' Jokowi ?

Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia dengan lebih dari 250 juta penduduk tentunya menjadi 'big market' untuk produk China. Hal ini tentu dibaca AS sebagai ancaman


Aksi demo di Bawaslu pada 21 Mei 2019 berbuah kericuhan. Sekelompok massa tiba-tiba saja datang usai para peserta aksi damai membubarkan diri.

Kerusuhan pun meletup hingga pagi hari dan menelan korban jiwa dan luka-luka. Polisi menyebut ada pihak ketiga yang menunggangi aksi damai di Gedung Bawaslu. Siapa? Dan apa motifnya?

Rezim Jokowi dan Stigma Pro-China

Diakui atau tidak, pemerintahan Jokowi oleh banyak pihak dianggap pro-China. Kedekatan pemerintahan Jokowi dengan negeri tirai bambu itu, meski tak terkatakan secara formal, telah membuat Amerika Serikat (AS) gerah.

Negeri Paman Sam tersebut tak ingin tersaingi dan kehilangan dominasinya atas negara-negara yang selama ini berada di bawah pengaruhnya.

Perang dagang yang dilancarkan AS terhadap produk-produk China hanyalah salah satu upaya menjegal pertumbuhan ekonomi negeri tirai bambu tersebut.

Namun perang dagang tidaklah cukup. AS juga berkepentingan untuk merebut kembali pengaruh di kawasan yang selama ini menjadi dominasinya agar tak menjadi sekutu negara pimpinan Xi Jinping tersebut.

Indonesia, diakui atau tidak, sejak era Orde Baru merupakan salah satu negara yang berada di bawah pengaruh AS hingga berpaling arah ke China di era pemerintahan Jokowi.

Di sisi lain, AS bertarung dengan waktu untuk menggagalkan proyek one belt one ring (OBOR) yang digagas China, dimana Indonesia telah bersedia menjadi bagian dari proyek tersebut.

Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia dengan lebih dari 250 juta penduduk tentunya menjadi 'big market' untuk produk China. Hal ini tentu dibaca AS sebagai ancaman.

AS tak ingin ekonomi China terus melambung dan anggaran belanja militernya meningkat.

Karenanya, segala celah yang mendukung perekonomian China harus ditutup.

Singkatnya, AS berkepentingan untuk menumbangkan rezim Jokowi guna merebut kembali pengaruhnya di negeri ini dan menggagalkan proyek OBOR yang bisa mendongkrak ekonomi China tumbuh lebih massif lagi.

Kendatipun Presiden AS Donald Trump telah mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi di Pilpres 2019, itu hanyalah basa-basi saja.

Tiga Cara

Merujuk pada pernyataan John Perkin dalam "The Economic Hit Man" bahwa untuk menaklukkan atau mengendalikan pemerintahan suatu negara, para agen korporatokrasi - demikian istilah yang digunakan Perkin - memiliki tiga cara yang sering digunakan: Suap, gulingkan atau bunuh.

Cara suap tak mesti dengan memberikan uang secara langsung kepada pemimpin negara, tapi bisa juga dengan janji-janji investasi dan lain sebagainya.

Ketika suap tak mempan, menurut Perkin, para agen korporatokrasi tersebut akan menggulingkan kepala negara dengan berbagai propaganda, krisis ekonomi, dan lainnya yang dapat memicu emosi massa hingga turun ke jalan mendesak sang kepala negara turun.

Jika cara itu pun gagal, jurus pamungkas pun dikeluarkan, yaitu "bunuh" dengan cara terang-terangan, rekayasa kecelakaan atau yang lainnya.

Berkaca Pada Venezuela

Ketiga cara tersebut saat ini sepertinya telah digunakan terhadap Venezuela di bawah kepemimpinan Maduro namun menemui kegagalan. Upaya menggulingkan Maduro melalui pelemahan ekonomi yang memicu aksi massa tak membuahkan hasil dan Maduro tetap bertengger di pusat kekuasaan.

Upaya pembunuhan terhadap Maduro pun dilakukan melalui aksi penembakan dalam sebuah upacara kenegaraan. Namun lagi-lagi upaya tersebut kandas lantaran para pengawal Maduro sigap bertindak melindungi sang presiden dengan payung anti peluru.

Setelah tiga cara tersebut gagal, opsi militer pun digulirkan. Mengutip suatu pemberitaan, ribuan tentara bayaran AS yang bernaung di bawah perusahaan keamanan swasta Blackwater akan dikirimkan ke negera yang dulu dipimpin Hugo Chavez tersebut.

Kasus Indonesia

Kembali pada kasus Indonesia. Kendati pun polisi telah menyatakan ada pihak ketiga yang melakukan kerusuhan paska aksi damai di Bawaslu, namun opini dan spekulasi di publik tetap berkembang liar. Setidaknya ada dua spekulasi yang berkembang di publik:

- Kerusuhan diinisiasi oleh kubu Jokowi untuk menghancurkan citra Prabowo.

- Kerusuhan diinisiasi oleh massa bayaran dari kubu Prabowo agar Bawaslu mendiskualifikasi Jokowi dan Prabowo menjadi presiden.

Namun menurut saya, agak mustahil jika hal tersebut dilakukan kubu Jokowi atau Prabowo karena itu 'bunuh diri'.

Jokowi atau pendukungnya tak mungkin memerintahkan aksi rusuh tersebut karena ekonomi di bawah pemerintahan Jokowi bisa hancur, lagi pula tak ada gunanya mendalangi aksi tersebut karena Jokowi sendiri telah dinyatakan KPU sebagai pemenang Pilpres.

Demikian pula agak tak masuk akal jika aksi rusuh oleh massa bayaran dari kubu Prabowo karena itu sama saja mencoreng citra Paslon 02 yang dapat memicu antipati rakyat.

Dan saya menduga keputusan Prabowo untuk mengajukan sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusional (MK) juga dipicu aksi rusuh yang dia sendiri mungkin tak tahu siapa aktor intelektualnya.

Gugatan ke MK dilakukan sebagai upaya untuk meredam emosi massa pendukungnya agar tak ikut bertindak anarkis dan juga menghindari tuduhan sebagai tokoh yang inkonstitusional. Sebelumnya kubu Prabowo menyatakan tidak akan melakukan gugatan ke MK.

Patut diduga kerusuhan paska aksi damai di Bawaslu juga diinisiasi oleh para agen korporatokrasi yang memang sudah 'bergentayangan' di negeri ini sejak Orde Baru berkuasa. Isu pilpres hanyalah kendaraan untuk melancarkan aksi mereka. Para agen itu sendiri tentunya bersembunyi di balik layar dan entah siapa.

Massa perusuh di lapangan hanyalah massa bayaran yang mungkin tak mengerti apa maksud dan tujuan sebenarnya. Kerusuhan itu sendiri merupakan provokasi agar massa dari kubu Prabowo ikut terpancing melakukan tindakan yang sama. Beruntung hanya sedikit pendukung Prabowo yang terpancing.

Di sisi lain, adanya penembakan dengan peluru tajam hingga merenggut korban jiwa dari kalangan civil, juga merupakan provokasi untuk membangkitkan amarah massa terhadap aparat agar terus melakukan perlawanan.

Meruntuhkan Ekonomi

Kita ketahui bersama, pertumbuhan ekonomi dan investasi berkorelasi erat dengan kondisi keamanan suatu negara.

Kekacauan suatu negara akan membuat investasi enggan masuk dan investor yang ada minggat hingga terjadilah kapital outflow (aliran modal keluar) yang berujung pada terjerembabnya nilai mata uang (kurs) negara tersebut.

Di sinilah titik lemah Indonesia. Sektor finansial merupakan titik serang yang dapat meruntuhkan struktur ekonomi negeri ini. Sebagai negara importir, dimana impor lebih banyak daripada ekspor, maka ketergantungan pada stabilitas dolar sangat tinggi.

Ketika terjadi kekacauan di dalam negeri dan modal asing lari, maka nilai tukar rupiah terhadap dolar dipastikan hancur.

Konsekuensinya tentu harga-harga akan melambung, industri yang bahan bakunya dari luar negeri kolaps, PHK terjadi dan serangkaian dampak lainnya. Singkatnya, negeri ini akan kembali terjebak dalam krisis ekonomi seperti 1997/98.

Krisis ekonomi inilah yang akan menjadi jalan untuk menumbangkan rezim Jokowi seperti juga tumbangnya rezim Soeharto yang juga dipicu oleh krisis ekonomi yang dibarengi kerusuhan massa. Siapa pun yang berkuasa paska Jokowi, itu urusan nanti. Target awal para agen korporatokrasi adalah menumbangkan Jokowi.

Kerusuhan di Bawaslu mungkin hanya awal dari serangkaian aksi yang telah direncanakan seraya menunggu momentum yang tepat untuk dilancarkan, entah kapan dan isu apa lagi yang akan menjadi tunggangan.

Saya berharap seluruh analisa ini salah dan tak menjelma menjadi kenyataan. Karena bagaimanapun kita semua tidak ingin krisis dan tragedi 1998 terulang lagi, karena rakyat jua yang akan menjadi korbannya. Tulisan ini hanyalah sebagai 'warning' untuk senantiasa meningkatkan kewaspadaan.

Oleh : Reinhard, pengamat intelijen dan hub. Internasional

 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.