JARILANGIT.COM - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidensial threshold dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu pemohon Effendi Ghazali menilai putusan itu janggal.
"Jangan-jangan sebagian hakim inilah yang layak disebut melakukan kebohongan politik dan sontoloyo. Saya siap disomasi," kata Effendi usai sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Oktober 2018.
Effendi menilai analogi yang dipakai hakim dalam putusan itu keliru. Sebab, mengambil contoh popular vote sama halnya dalam Pemilu di Amerika Serikat.
"Sekalipun yang menang itu popular vote, itu belum tentu jadi presiden, bukan itu logikanya. Rakyat AS itu sudah tahu dan tidak pernah dibohongi bahwa sekalipun Anda milih terus populer votenya menang, belum tentu akan jadi presiden karena rakyat Amerika sudah tahu sistemnya electoral college," ujar Effendi.
Effendi juga kecewa hakim tak memberikan tanggapan ketika diminta mencontohkan negara-negara yang melaksanakan pemilu serentak tapi menggunakan ambang batas presiden.
"Sebelum itu bisa dijawab, artinya hakim MK melakukan pembohongan publik akan dikejar terus sepanjang hidupnya melakukan pembohongan publik," tandas dia.
Effendi menyebut dengan adanya putusan itu baiknya tidak ada pemilu serentak. Sebagai pihak yang mengajukan judicial review sehingga tercipta pemilu serentak, Effendi kecewa pemilu serentak malah melahirkan pemilu rasa parlementer.
"Sebaiknya dikembalikan saja seperti pemilu sebelumnya. DPR dulu, baru pemilu presiden. Karena apa? Memang itu akan melahirkan pemilu presiden atau sistem presidensial rasa parlementer, tapi melaksanakan pemilu seperti ini dengan adanya presidential treshold tadi itu sangat menyesatkan," pungkas Effendi.
MK menolak seluruh gugatan Pasal 222 Undang-undang (UU) Pemilu tentang ambang batas calon presiden atau presidential threshold.
Dalam pertimbangannya hakim menilai isi gugatan yang disampaikan tidak beralasan secara hukum. MK sepakat syarat untuk mencalonkan presiden/wakil presiden ialah satu partai atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
"MK berpandangan bahwa dukungan suara hanyalah merupakan syarat dukungan awal, sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden," kata Ketua Hakim MK Anwar Usman saat membacakan pertimbangan. (ren/med)