JARILANGIT.COM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 sudah merekapitulasi suara nasional dan diputuskan pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma`ruf Amin yang memperoleh suara terbanyak. Namun, di pihak lain hingga saat ini, sistem hitung cepata (Situng) KPU belum juga selesai.
Menanggapi kejadian ini, mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, sistem penghitungan manual hasil pemilu sangat rawan akan kesalahan. karena itu dia mneyarankan agar perlunya perubahan dari penghitungan manual ke otomatis. Juga, lebih menggunakan form C1 plano ketimbang salinan C1 yang justru akan lebih susah pengerjaannya karena memakan banyak waktu dan tenaga para petugas KPPS.
"Coba deh sekali-sekali cobain rasanya jadi petugas KPPS. Semua harus dicatat, tidak boleh salah, dan bekerja hingga larut malam," ujarnya seperti dikutip dari Jawa Pos.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) itu lantas menjelaskan alasan form C1 plano lebih akurat ketimbang salinannya. Formulir C1 plano dikerjakan petugas sekitar pukul 13.00-15.00. kata dia saat itu konsentrasi petugas masih sangat bagus. Mereka belum merasa lelah. Apa yang mereka kerjakan pun akan menjadi lebih mudah.
Berbeda dengan waktu pengerjaan salinan formulir C1 yang nanti didistribusikan. Biasanya penyalinan tersebut dilakukan di kisaran pukul 20.00-00.00.
"Pada jam-jam tersebut, para petugas diserang kelelahan. Sebab, mereka sudah bertugas selama sehari penuh. Konsentrasi berkurang, kesalahan pun menjadi satu hal yang sulit terelakkan," terangnya.
Menurut dia, masalah yang sesungguhnya bukan terjadi ketika kesalahan dilakukan. Tapi ketika petugas terlalu lelah untuk mengecek dua kali apa yang sudah mereka tulis. Itulah yang menyebabkan adanya temuan kesalahan-kesalahan di C1 salinan.
"Beda satu angka di depannya atau di belakangnya. Ada juga yang berbeda dengan jumlah pemilih. Memang kejadian seperti ini tidak banyak. Tapi, tetap harus diperhatikan," imbuhnya.
Menurutnya, akan lebih praktis jika KPU menerapkan sistem otomatis di penghitungan suara selanjutnya. Caranya sebenarnya mudah. Hadar menjelaskan, setiap saksi dan petugas cuma membutuhkan C1 plano.
Kertas berisi perolehan suara tiap TPS tersebut diambil gambarnya oleh petugas. Tangkapan gambar tersebut kemudian diunggah di sebuah sistem yang dimiliki KPU. C1 tersebut bisa segera menjadi bukti dan alat hitung yang sah.
"Itu juga bisa menjadi dokumen resmi para saksi. Mereka bisa mendapatkannya melalui foto atau dikirim ke e-mail masing-masing saksi atau partai," ujar Hadar.
Selain lebih praktis, Hadar menganggap hal itu bisa meminimalkan terjadinya kecurangan. Sebab, C1 plano yang digunakan sudah pasti disetujui seluruh saksi. Pengambilan gambar dilakukan langsung setelah para saksi membubuhkan tanda tangan di atasnya. Dengan begitu, kemungkinan untuk melakukan kecurangan pun semakin kecil.
Hal itu juga lebih mudah bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Pengiriman logistik antara satu kota dan kabupaten membutuhkan kerja yang lumayan keras.
Direktur Netgrit Sigit Pamungkas menambahkan, ada beberapa daerah di Indonesia yang aksesnya tidak mudah untuk ditempuh. Hal itu berdampak pada pendistribusian C1 yang akan diberikan pihak TPS ke KPU setempat. Tidak hanya memicu salah penulisan di salinan, penghitungan secara manual juga berpotensi telat.
"Mobilitas C1 itu tidak semudah di daerah-daerah yang transportasinya dapat dijangkau dengan baik," ucapnya.
Permasalahan juga terjadi ketika salinan dokumen C1 yang didistribusikan itu ada di kotak suara. Artinya, petugas harus melakukan serangkaian proses hanya untuk mengeluarkan salinan tersebut dan mengunggahnya ke sistem situng KPU.
(Gisella Putri/jpnn)