Bila MK tidak mengubah cara berpikirnya, peradilan pemilu MK adalah peradilan yg mustahil dimenangkan capres penggugat. Hal itu terbukti dalam peradilan MK untuk pilpres 2019.
MK mendalilkan bahwa dirinya hanya melaksanakan peradilan sengketa suara.
Tetapi MK menuntut Pemohon utk menghadirkan segalanya, "Siapa, dimana, kapan, bagaimana dan apa hubungannya dengan perolehan suara." Pertanyaan2 itu jelas tidak mungkin dijawab oleh pemohon sebab pemohon tidak punya kewenangan sebagai polisi yang boleh memeriksa, menangkap dan meminta informasi.
Dengan kata lain, MK menuntut pemohon menyediakan bukti2 setingkat audit forensik. Bagaimana pemohon bisa memberikannya? Pemohon cuma diberi waktu 3 hari utk mengajukan gugatan. Lagipula pemohon tidak memiliki hak dan wewenang melakukan audit forensik.
Di bawah beban pembuktian seberat itu wajar bila tidak ada satu dalil pemohon pun yang diterima.
Padahal di-mana2 pengadilan pemilu, yg dibutuhkan dari pemohon adalah mengungkapkan adanya irregularities atau ketidak-tertiban (dalam prosedur atau tahapan pemilu).
Selebihnya MK atau MA bergerak sendiri, misalnya dengan memerintahkan dilakukannya audit forensik, kalau memang hal itu yg dibutuhkan untuk memberi MK keyakinan. Atau dengan kewenangannya atas kepolisian dan intelejen, MK bisa menemukan bukti2 tambahan yg mereka butuhkan.
MK pura-pura tidak paham atas impossibilities di atas. Dengan kata lain, peradilan MK hanya peradilan pura-pura saja. Alias peradilan sesat. (*)
Tulisan di FB :
(https://www.facebook.com/radhartribaskoro/posts/10219081925588341).
MK TIDAK PEDULI PEMILU JURDIL, ABAIKAN MK !
Oleh: Radhar Tribaskoro
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zulfa mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa
(1) banyaknya bukti bukan faktor yang menentukan dalam memenangkan gugatan, dan
(2) yang dibutuhkan adalah bukti yang relevan (dengan penambahan/pengurangan suara) dan secara signifikan bisa mengubah hasil pemilu.
Terakhir (3) Hamdan Zulfa menekankan bahwa selisih suara yang besar adalah kendala yang besar untuk memenangkan gugatan. (Lihat https://bit.ly/2YC5pjq).
Pandangan Hamdan Zulfa itu mengandung arti bahwa semua bukti-bukti kecurangan perihal politik uang, pengerahan aparat negara, penggelembungan DPT, ketidak-netralan polisi dan PNS, manipulasi situng dsb, tidak penting menurut wawasan para hakim MK.
Mereka tidak mau membaca, kata Hamdan Zulfa, bila bukti-bukti yang diajukan tidak berhubungan langsung dengan jumlah suara. Betapapun banyaknya bukti-bukti itu.
Dengan kata lain, MK tidak peduli kepada asas pemilu yang jujur dan adil. MK tidak mau tahu bahwa penyelenggara pemilu yang tidak jujur dan tidak adil menciptakan kondisi dan situasi yang merugikan salah satu pihak. Mereka beranggapan bahwa kejujuran dan keadilan dalam pemilu sama sekali bukan urusan pengadilan MK.
Pengadilan kok tidak peduli kepada keadilan ?
Secara aneh dan tanpa alasan logis MK membatasi peranannya dalam sengketa pemilu pada aspek hitung suara saja. MK hanya memperhitungkan bukti-bukti yang berkaitan langsung dengan suara. Kalau anda bisa membuktikan bahwa KPPS telah mencuri 100 suara anda, baru MK tergerak untuk mengembalikan 100 suara itu.
Nah, disinilah muncul kendala yang luar biasa bagi orang yang mau berperkara di MK. MK hanya menghitung suara. Kalau anda kalah 9.000.000 suara, dan menurut anda suara anda dicuri 100 per TPS, maka anda harus menghadirkan 90.000 anggota KPPS yang mau bersaksi atas pencurian itu. MK tidak akan memproses gugatan anda kalau anda cuma bisa menghadirkan 89.999 saksi.
Jadi sekalipun anda memiliki 89.999 saksi yang membuktikan bahwa anda telah dicurangi, MK akan tetap memenangkan lawan anda.
Absurd tidak ?
Tetapi itulah persisnya apa yang dimaksud oleh Hamdan Zulfa ketika mengatakan selisih yang besar akan menjadi hambatan yang besar bagi Prabowo.
Sejak wawasan MK tersebut ditegaskan tahun 2014, di lingkungan masyarakat politik telah lama berkembang pemahaman bahwa "Bila ingin menang pemilu maka curanglah. Bila curang, curanglah sehebat mungkin untuk menciptakan selisih suara sebanyak mungkin. Dengan demikian lawan sulit mengumpulkan bukti. Dan MK pasti akan memenangkan anda."
Maka jadilah pemilu 2019 ini sebagai pemilu tercurang dalam sejarah politik Indonesia. Terbrutal.
Untuk rekan-rekan Tim Hukum BPN Prabowo Sandi, opsi menggugat ke MK sebaiknya disingkirkan saja. Tafsir konstitusi di sana terlalu hebat, tidak ada gunanya berperkara di pengadilan yang hadir bukan untuk keadilan.