Seperti semula sudah dapat ditebak hasilnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai skenario penguasa, dengan kuasa dan ketegaannya menolak semua dalil gugatan kuasa hukum Capres 02 Prabowo-Sandi.
Ke-9 hakim MK telah menghianati hati nuraninya dan tuntutan rasa keadilan dari 80 juta suara pendukung Prabowo Sandi yang tercatat oleh BPN Prabowo Sandi. Biarlah itu akan mereka pertanggungjawabkan kepada yang Maha Kuasa di akhirat nanti.
Demikian dikatakan pengamat politik, Dr.Safri Muiz di Jakarta, Jumat (28/6). Pengumuman hasil sidang MK adalah titik puncak dari perselisihan sengketa pilpres 2019.
Prediksi kekalahan capres 02 mulai dari pagi buta sudah bersileweran di medsos. Malah di medsos sudah ada undangan syukuran kemenangan Jokowi yang sudah disebarkan sejak pagi hari, jauh sebelum vonis MK dibacakan.
Penguasa dan MK seakan tidak peduli dan tidak tahu malu dengan rasa tuntutan keadilan masyarakat. Jauh sebelum putusan dibacakan dua pejabat tinggi Presiden Jokowi, Wiranto dan Moeldoko sudah menakut-nakuti rakyat bahwa ada terduga teroris yang memasuki Jakarta, menjelang putuasan MK, jumlahnya pun banyak yaitu 30 orang.
Pernyataan 2 pejabat negara ini semakin kita tidak mengerti dan timbul pertanyaan dalam hati kita. Kalau memang ada 30 orang terduga teroris, kenapa tidak langsung ditangkap?. Kok malah ancam-ancam dan meramaikannnya di publik. "Jangan-jangan merekalah justru penyebar teror atau info yang meresahkan dan menakut-nakuti rakyat, timpal Safri.
Aneh bin ajaib pernyataan terlontar dari 2 pejabat tinggi negara, penguasa keamanan dan istana di republik kita ini. Mereka tak malu melontarkan pernyataan bodoh seperti itu. Bila kita melihat berita di medsos maupun media lainnya, kita sebagai rakyat dibuat bertanya-tanya, kok bisa informasi seperti itu berasal dari mulut seorang pejabat. Karena pernyataan para pajabat tinggi di negeri kita banyak kecenderungan itu pernyataan yang menakut-nakuti dan berbau pencitraan, tegas Safri.
Rakyat seakan-akan merupakan sebuah tempat sampah untuk menampung informasi apapun dari pejabat tanpa peduli kebenarannya. Tetapi informasi itu mengganggu akal sehat kita. Mengganggu pikiran jernih kita, karena informasi itu seperti teka teki, dan jawabannya hanya dalam hati kita. Kalau kita banyak bertanya atau komentar, maka kita bisa di cap hoaks atau ujaran kebencian dan lebih parah lagi di tuduh makar, ujar Safri.
Jadi kita sengaja di takut-takuti atau di tuduh dan ditangkap dan langsung dikenakan pasal karet, sesuai dengan selera penguasa. Demokrasi yang menjamin rakyatnya untuk mengungkapkan pendapat dimuka umum, sengaja diberangus. Agar rakyat hanya menurut keinginan penguasa. Protes atau aksi demonstrasi membuat penguasa gerah, sehingga kedua tindakan itu di anggap tabu. Dan itu merupakan bagian dari perlawanan terhadap rezim penguasa, lanjutnya.
Rasa ingin tahu rakyat seharusnya ditanggapi dengan kepala dingin oleh penguasa. Penguasa menjadikan rasa ingin tahu ini merupakan bagian mereka untuk menjelaskan dengan terang, dan tidak memunculkan rasa curiga rakyat terhadap penguasa. Beda pendapat itu biasa, beda pilihan itu biasa. Sehingga perbedaan itu bukanlah ancaman akan tetapi itu adalah koreksi bagi penguasa untuk berlaku adil. Rakyat hanya menuntut kejujuran dan keadilan dari penguasa, tidak lebih dari itu.
Rakyat ingin negara kita ini menjadi negara yang hadir pada saat mereka membutuhkan dan tidak absen pada saat mereka ingin mendapatkan pelayanan aparat pemerintah. Sehingga pemimpin mereka kedepan terutama lima tahun kedepan walau dimenangkan MK secara tidak adil, bisa membawa NKRI menjadi negara yang selalu hadir pada saat rakyatnya membutuhkan, termasuk rakyatnya yang memilih dan tetap setia kepada Prabowo, tegas Safri. (Lj)