Kehadiran tamu tak diundang asal Eropa di Nusantara membawa perubahan sosial di Nusantara. Perubahan masyarakat terjadi setelah Portugis, Belanda dan Inggris turut campur mengurusi sistem Kesultanan Islam yang telah berdiri di Nusantara sejak abad ke 13 M, jauh sebelum bangsa Eropa itu hadir.
Belanda hadir di Nusantara tidak sekedar berdagang, sebab bila urusannya hanya berdagang, cukup di pelabuhan dan tak perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah pemegang Kekuasaan tertinggi yang dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah Kerajaan Belanda.
Pemerintahan dibawah Gubernur Jenderal Belanda ini menjadi Pemerintahan Boneka Belanda yang merekrut orang-orang pribumi lokal untuk menduduki jabatan staf Regent dan Bupati sebagai Birokrasi tandingan Kesultanan Islam yang telah mengakar kuat di Bumi Nusantara.
Dalam melaksanakan sistem Birokrasi kolonial ini, Belanda menyerahkan jabatan yang harus tetap dipegang oleh orang-orang Belanda disebut dengan istilah Binenland Bestuur, yang terdiri dari Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen dan Controleur.
Pemerintahan yang boleh dipegang oleh kaum pribumi dinamakan dengan Pangreh Praja (PP). Pejabat yang duduk dalam Pangreh Praja adalah Bupati, Patih, Wedana, dan Asisten Wedana
Asisten Residen setaraf dengan jabatan Patih. Controleur setingkat dengan Asisten Wedana. Asisten Wedana setaraf dengan Asisten Controleur. Bupati diangkat oleh Gubernur Jenderal atas rekomendasi dari Residen dan Asisten Residen.
Bertus Coops Pada bulan Agustus 1920, mengakhiri masa baktinya sebagai walikota Bandung (Universiteit Leiden) |
Anehnya, pengangkatan seorang staf bupati beserta dari kalangan Pribumi memiliki banyak persyaratan. Adapun persyaratan utamanya sangat berkaitan erat dengan aktivitas di Rumah Loji
Menurut TH Steven, (dalam bukunya Tarekat Mason Bebas Hindia Belanda) aktifitas di rumah Loji berbeda dengan aktivitas VOC yang tinggal di Batavia dengan urusan dagang. Di Rumah Loji, Belanda menjalin hubungan yang intens dengan orang-orang lokal pribumi.
Dari hubungan yang intens tersebut selanjutnya orang-orang pribumi di rekrut sebagai anggota Tarekat Mason (Freemason). Rumah Loji berfungsi sebagai tempat diskusi antara Freemason lokal dengan anggota tarekat Mason yang berasal dari Belanda. Di rumah Loji inilah di diskusikan tentang metode terbaik dalam merealisasikan Birokrasi Kolonial di Nusantara.
Rumah Loji juga berfungsi sebagai tempat perekrutan calon staf pegawai Belanda. Kelak dari rumah-rumah loji inilah lahirnya berbagai Sistem Birokrasi dan undang-undang Birokrasi Kolonial.
Orang-orang lokal anggota Tarekat Mason rumah loji inilah para calon pegawai yang akan menduduki jabatan-jabatan birokrasi Kolonial sebagai staf dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Mereka diangkat sebagai Ambtenaar yang digaji untuk kepentingan Belanda.
Dengan adanya birokrasi Kolonial tersebut, Kolonial merealisasikan politik Devide it Impera, atau politik adu domba untuk menggeser kedudukan dan kewibawaan Kesultanan Islam.
Selanjutnya Negeri Nusantara yang sejak abad ke 13 hingga abad ke 18 telah berdiri kurang lebih 150 Kesultanan Islam besar dan kecil, secara perlahan dikuasai oleh penguasa baru berkulit putih dengan stafnya orang-orang lokal yang telah terbeli oleh sistem Kolonial.
Tercatat dalam buku Perang Napoleon di Jawa (1811) karya Jean Rocher, Pasukan asli Belanda di Jawa yang berjumlah 1791 personel mampu membawahi 14.050 prajurit pribumi.
Maka perkembangan selanjutnya seluruh Kesultanan Islam itupun runtuh satu persatu, hingga Nusantara sepenuhnya dikuasai oleh para Birokrat Kolonial yang mengabdi untuk kepentingan Kolonialisme Eropa, yakni Belanda dan Inggris sejak memasuki abad ke 18 hingga akhir abad 19 Masehi.
Meskipun mereka bekerja untuk negerinya, namun sejatinya mereka tak mengabdi untuk kepentingan negerinya sendiri, melainkan untuk kepentingan Negara Kolonialis Eropa (Asing), justru mereka menjual Negerinya demi keuntungan pribadinya sendiri.
Abu Bakar Bamuzaham, Network Associate Global Future Institute (GFI)
Foto Utama : Antara 1925-1931: Empat mojang memegang angklung; kemungkinan diminta difoto karena ada kunjungan seorang pembesar dari Malang (disimpulkan dari nomer plat mobil) copyright Universitas Leiden