Oleh Dr. Chazali H. Situmorang, APT, M.Sc (Direktur Social Security Development Institute-Dosen FISIP UNAS)
Dari pengertian martabat diatas, kita mengetahui bahwa setiap orang wajib dan berhak menjaga martabatnya. Namun, seringkali martabat manusia direndahkan oleh sesamanya sendiri dengan cara bullying, pencemaran nama baik, diskriminasi sosial dan tindakan pelanggaran HAM lainnya. Padahal setiap manusia pasti tidak ingin harga dirinya dijatuhkan. Apalagi sebagai bangsa, taruhan nya adalah eksistensi sebagai bangsa dalam hubungan kemanusiaan antara bangsa.
Pancasila adalah nilai dasar bangsa Indonesia, baik dalam kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat, dengan pengayaan nilai-nilai lokal, spiritual, dan keagamaan, yang telah terbukti dalam perjalanan bangsa Indonesia mempertahankan martabat bangsa, sehingga banyak negara-negara bangsa lain yang mempelajari dan mendalami nilai-nilai Pancasila tersebut sebagai suatu yang uniq dan alat pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan tersebar di belasan ribu pulau.
Dalam semangat nilai-nilai Pancasila itulah pendidikan Indonesia dibangun. Pendidikan Indonesia harus punya ideologi yaitu Pancasila. Agar kita punya jati diri dan integritas sebagai bangsa dalam menyelami dunia ilmu pengetahuan, pendidikan, kecerdasan, dan kemampuan akademik yang tidak lepas dari nilai-nilai spiritual keagamaan, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, lihat alinea keempat, bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian integral dari Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tersebut.
Secara lengkap kita kutip teks alinea keempat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dalam Pembukaan UU Dasar 1945 itu, jelas ada 3 tujuan utama dibentuknya pemerintahan negara yaitu; memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, dengan landasan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa , Pasal 31 UU Dasar 1945. Berbunyi :
- Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang
- Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Untuk mengelaborasi pasal 31 UU dasar 1945, maka disusunlah UU terkait. Yaitu UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Tentang Pendidikan Tinggi, UU tentang Guru dan Dosen, dan UU lainnya.
Dalam UU Tentang Sistem Pendidikan nasional, UU Nomor 20/2003, pada Ketentuan Umum, Pasal 1, ayat 1,2, dan 3 berbunyi:
- Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
- Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
- Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya kita cermati UU Tentang Pendidikan Tinggi, UU No. 12/2012, pada Pasal 2 berbunyi: Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Demikian juga pada UU Guru dan Dosen, UU 14/ 2005, pada Pasal 6 menyebutkan, bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, ber akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dari ketiga UU tersebut diatas, ternyata ada benang merah yang harus terjaga dan tetap dikawal keberadaannya yaitu meletakkan Pancasila, UU Dasar 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai umbrella dari semua produk terkait sistem dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Maka itu semua aturan pelaksanaannya, baik dalam PP, Perpres, Permen harus tidak boleh keluar dari jalur monorel Pancasila, ya monorel bukan jalur ganda. Pancasila itu merupakan one gate system dalam merumuskan semua kebijakan sektor pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan termasuk sektor pendidikan.
Tentu Menteri Ristek dan Dikti mengerti betul payung hukum dimaksud. Mungkin dalam implementasinya Pak Menteri mencoba berimprovisasi dengan mengangkat isu, gagasan, ide untuk mencari dari luar akademisi kaliber dunia untuk menjadi Rektor di Perguruan Tinggi di Indonesia.
Targetnya sebenarnya bagus sekali untuk mendorong suasana kompetitif pendidikan tinggi yang ranking dunianya belum bisa menembus 100 terbaik dunia. Disamping untuk akselerasi ranking dunia; sudah lumrah dilakukan negara lain; dan untuk mencapai pendidikan kelas dunia.
Obsesi Pak menteri kelihatannya sudah tidak sabar melihat Perguruan Tinggi kita ini hanya jago kandang. Beliau ingin keluar kandang dan mengaum menggertak dunia.
Gagasan Pak menteri ini tentu memerlukan renungan yang dalam. Apakah yang dilakukan Pak Menteri selama 5 tahun sebagai Menteri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sudah dirumuskan secara komprehensif, ter struktur, terukur, transparan, untuk menuju Pendidikan Tinggi kelas dunia?.
Jawabannya, kita sudah menuju kesana, dalam perjalanan panjang. Tinggal perlu eskalasi kecepatan. Berbagai kebijakan Menteri selama ini, sudah mampu membuka mata para penyelenggara Pendidikan Tinggi.
Beban tugas profesor, dosen, untuk menyelesaikan tugasnya melakukan kajian, penelitian, tulisan-tulisan ilmiah untuk masuk ke Jurnal dunia (indeks Scopus misalnya), berbagai laporan kegiatan yang harus diselesaikan sesuai tenggat waktu, yang semuanya itu dikaitkan dengan remunerasi yang diberikan sebagai daya ungkit untuk menaikkan akreditasi perguruan tinggi baik lembaga perguruan tingginya, maupun prodi dan fakultas, sangat dirasakan secara merata di semua perguruan tinggi.
Perjalanan panjang yang sedang “move on” tiba-tiba dibelokkan oleh Pak Menteri banting stir ke kanan, ke kiri dengan membuat kebijakan untuk menempatkan Akademisi Asing sebagai Rektor Asing di Perguruan Tinggi di Indonesia. Bahkan bukan saja baru wacana tetapi sudah harus dimulai pada tahun 2020. Dan beliau menyatakan Presiden Jokowi sudah mendukung dan menyetujui.
Langkah ini membuat semua isi gerbong lokomotif yang sedang dibawa Pak Menteri pada teriak menyatakan ketidak setujuan. Faktor utama penolakan adalah jelas menabrak UU. Mulai UU Dasar 1945, UU Pendidikan Tinggi, UU Sistem Pendidikan nasional, dan UU tentang Guru dan Dosen.
Alasan menempatkan Rektor Asing yang rada-rada kurang dilandasi argumentasi filosofi, sosiologi, dan payung hukumnya, tentu menjadi pembicaraan dan pembahasan yang hangat. Menteri Riset dan Dikti sepertinya jalan terus dengan berencana merubah aturan-aturan pelaksanaan supaya rencana tersebut dapat diwujudkan.
Bagimana cara Pak Menteri mendapatkan Rektor Asing yang Pancasilais, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam semua kebijakan yang akan dikeluarkannya, harapan kita Pak Menteri sudah punya instrumen untuk mengukurnya.
Pertanyaan berikutnya yang lebih penting adalah , lembaga mana yang dapat “mengerem” keinginan tersebut?. Jawabannya adalah DPR. Khususnya Komisi X, yang membidangi Pendidikan. Perjalanan masih panjang. Tembok DPR harus ditembus dulu oleh Pak Menteri.
Mudah-mudahan Pak Nasir menjabat lagi sebagai Menteri Riset dan Dikti untuk meneruskan rencana tersebut. Jika diganti Pak Jokowi, bisa juga akan ikut berhenti gagasan tersebut dengan berhentinya Pak Nasir sebagai Menteri Riset dan Dikti. Bagaimana menurut anda?.
Cibubur, 6 Agustus 2019 (*)