Pemerintah baru-baru ini telah melakukakn pembelian saham Freeport sebesar 51 persen. Pemerintah juga mengklaim, soal divestasi saham perusahaan itu bukan cuma sarat pencitraan politik jelang Pilpres 2019.
Terkait hal itu, analis ekonomi konstitusi, Defiyan Cori, mengatakan bahwa, lebih baik pemerintah menyelesaikan Kontrak Karya yang berakhir pada tahun 2021.
"Lebih baik kontrak habis dan ambil alih. Nilai saham Freeport sudah anjlok, justru 51 persen itu membantu pihak PT Freeport untuk menaikkan nilai saham. Anehnya justru negara melalui BUMN Inalum yang berutang," kata Defiyan Cori yang dikutip dari RMOL.co, Senin, 16 Juli 2018.
Defiyan berpndapat, raihan saham 51 persen itu hanya akan memperoleh imbal balik lewat pembagian laba dan lainnya sampai tahun 2041. Kemudian, apabila negara mengambil alih setelah kontrak karya habis di 2021, maka negara akan memperoleh penguasaan 100 persen.
Disisi lain, kasus perpanjangan Kontrak Karya Freeport pada 1991, juga tak bisa lepas dari sosok Ginandjar Kartasasmita yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben).
Bila posisi negara telah terlanjur tidak begitu kuat, maka sebaiknya 51 persen yang akan didivestasikan lewat utang itu tidak dibebankan pada negara, dalam hal ini BUMN Inalum.
“Walaupun sejatinya posisi tawar perpanjangan ini posisi tawar pemerintah relatif kuat, hanya saja pemerintah harus melepaskan motif berburu rente dari pihak-pihak tertentu demi kepentingan kekuasaan di pemilu 2019,” paparnya.
Dilanjutkan dia, kepentingan jangka pendek itu telah mengabaikan kepentingan kemandirian ekonomi bangsa dan rakyat Indonesia.
“Kita semua berharap presiden (Jokowi) memahami soal ini. Jangan sampai publik menduga presiden juga turut menikmati utang untuk divestasi 51 persen itu," tuturnya.
Catatan Artikel asli yang di posting di RMOL sudah di hapus ! alamat sama namun judul dan isi postinganya sudah berganti..