Survei Litbang kompas, bisa membuat beberapa partai mitra balik badan dari koalisi Jokowi. Beberapa diantaranya, telah menampakan gelagatnya. Partai paham betul, kemitraan itu dibangun untuk saling memberikan manfaat.
Jika manfaat itu berkurang, apalagi saldonya nyaris kosong, biasa saja terjadi kesetimbangan politik untuk mengubah 'bandul' kemanfaatan.
Deklarasi Erwin Aksa, Pengusaha dan Tokoh penting Golkar yang mendukung kubu 02, bisa jadi parameternya. Manuver Erwin, menjadi Penanda -era terbuka menyeberang dari koalisi- setelan sebelumnya proses itu telah dan terus berlangsung secara implisit. Erwin, telah memulai tonggak pergeseran kesetimbangan politik secara eksplisit.
Rongrongan koalisi juga menjadi sebab sinergi tidak bisa utuh untuk menggolkan visi bersama. PKB yang mematok angka 10 menteri, tentu membuat mitra koalisi kesulitan menakar saham dan peran masing-masing, untuk kemudian mengajukan kompensasi kekuasaan sebagai komitmen jatah dan bagi-bagi deviden politik diantara mitra koalisi.
Nasdem, pasca OTT Rommy, cepat sekali mengajukan Promo untuk segera 'menghabisi jejak Romi dari mitra koalisi' dengan meminta seluruh gambar Jokowi yang berdampingan dengan Rommy diturunkan.
Promo ini, implisit ingin mengkapling Jokowi sebagai milik Nasdem seorang. Karena jauh hari sebelum kasus Rommy, Nasdem paling rajin menebar pameo 'Jokowi adalah kita' dengan foto sang Ketum bersama capres 01.
Nasdem punya alasan, kasus OTT Rommy akan menggerus elektabilitas Jokowi jika foto sang eks Ketum PPP itu masih terus berdampingan dengan Jokowi. Padahal, implisit manuver ini juga bertujuan untuk mengokohkan Nasdem sebagai pemilik saham utama 'Foto Jokowi' diantara bertumpuknya spanduk dan baliho Jokowi - Surya Paloh.
Partai koalisi yang lain, tidak terlalu bersemangat memajang foto Jokowi diantara distribusi foto caleg yang mereka pasang, baik caleg DPR RI, DPRD provinsi, kota dan kabupaten. Ada semacam bala' yang menghantui jika memajang foto Jokowi. Elektabilitas caleg, khawatir digerogoti sosok Jokowi. Memajang foto Jokowi, berarti beban elektabilitas bagi caleg.
Sementara mitra partai yang melihat Jokowi bisa menambah elektabilitas, juga enggan memajangnya. Sebab, Jokowi tokoh PDIP. Memajang foto Jokowi bersama caleg partai, hanya akan menguntungkan PDIP. Padahal, setiap partai punya visi politik untuk mendongkrak suara partainya, bukan suara PDIP atau Jokowi.
Kembali ke hasil survei Litbang kompas, dengan angka elektabilitas dibawah 50 % (tepatnya 49,2 %) merupakan ancaman serius bagi petahana. Petahana, yang memiliki akses atas resources kekuasaan idealnya memiliki elektabilitas 60 %.
Apalagi, selisih petahana dan penantang hanya 11,8 % dimana Prabowo Sandi memiliki angka elektabilitas 30,9 % dengan undecided voters 9,90%, adalah parameter berbahaya bagi petahana.
Kondisi ini bisa dimainkan oleh koalisi Jokowi MA menaikan daya tawar dengan opsi :
Pertama, koalisi Jokowi - MA (diluar PDIP tentunya) akan mempertimbangkan untuk keluar dari koalisi, melihat dinamika politik yang tidak menguntungkan. Minggat dari koalisi itu biasa, dalih melihat aspirasi publik bisa menjadi alasan klasik bagi partai untuk hengkang.
Hal ini merupakan petaka bagi PDIP, sebab hanya PDIP yang nyaris tidak mungkin bisa keluar dari koalisi Jokowi - MA, karena PDIP adalah partai utama penopang koalisi. PKB memang memiliki Representasi MA sebagai figour Cawapres, namun itu tidak terlalu menghambat pilihan politik hengkang jika itu dipandang lebih bermaslahat.
Kedua, jika partai mitra koalisi tetap bertahan tentu pasca OTT Rommy juga pasca rilis survei Litbang kompas, membuat partai koalisi melakukan rekalkulasi posisi politik. Kondisi ini, bisa dijadikan dalih untuk meminta komitmen 'jatah kekuasaan' lebih besar ketimbang posisi semula.
PPP adalah partai yang paling lemah dalam posisi ini, PPP tak bisa menampik argumen bahwa kasus OTT Rommy kader PPP, adalah sebab utama merosotnya elektabilitas Jokowi. PPP hanya bisa pasrah tentang konsesi pembagian kekuasaan di lingkaran koalisi Jokowi.
Hanya saja, diluar PPP tentu akan menjadikan kasus OTT Rommy ini, untuk mengajukan konsesi kekuasaan lebih dari komitmen sebelumnya. Mengenai hal ini, ada dua alasan yang akan diajukan.
Pertama, komitmen lebih itu untuk memastikan partai tetap berada di kubu koalisi Jokowi. Kedua, komitmen lebih itu untuk kompensasi pekerjaan partai yang lebih berkeringat untuk menyelamatkan Jokowi - MA, pasca kasus OTT Rommy.
Pilihan-pilihan ini tidak menutup kemungkinan partai mitra koalisi akan mematok 'harga mahal' agar mereka tetap berada dilingkaran koalisi dan terus membela Jokowi. PKB akan kembali menggaungkan posisi 10 menteri di kabinet Jokowi karena PKB meyakini, tinggal partainya yang bisa menjalankan fungsi menjaring suara umat Islam, setelah Rommy kader PPP terkena OTT KPK.
Golkar yang sejak awal bergabung, juga akan mengajukan tawaran lebih mahal. Jika saat ini Golkar merapat setelah Jokowi menjadi Presiden saja mendapat jatah 2 (dua) menteri, tentu berbeda porsinya dengan posisi Golkar yang sejak awal berjibaku berkoalisi mengusung Jokowi.
Inilah pilihan-pilihan sulit bagi PDIP sebagai partai utama pengusung Jokowi. PDIP tidak memiliki opsi untuk hengkang pasca elektabilitas Jokowi melorot, PDIP juga tidak mungkin mengajukan opsi tawaran konssesi kekuasaan, karena justru PDIP yang dituntut mitra koalisi.
Diantara kepayahan mengerek elektabilitas Jokowi, PDIP juga terjepit dengan tuntutan konsesi kekuasaan dari mitra koalisi. Jurus akhir, PDIP akan mengalah mendapat jatah konsesi kekuasaan sedikit -meskipun partai dengan suara paling besar- semata mata untuk menentramkan dan memastikan partai mitra koalisi tetap berhimpun dan mendukung koalisi Jokowi.
Harga yang harus dibayar PDIP adalah, berani mengambil kekalahan (jatah menteri sedikit) untuk mempertaruhkan kemenangan Jokowi. PDIP boleh jadi, akan dipecundangi Golkar untuk yang kesekian kalinya.
Penulis : Nasrudin Joha