JARILANGIT.COM - Proses penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2019 dinilai berbagai kalangan sebagai pesta demokrasi terparah pasca reformasi di Indonesia. Hal itu diindikasikan dengan adanya berbagai dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Tokoh nasional DR Rizal Ramli, menyebut bahwasanya carut-marut penyelenggaraan Pemilu 2019 merupakan yang pertama kali terjadi di dunia. Sebab menurutnya, masyarakat yang seharusnya jadi penonton malah kewalahan dalam mengawasi penyelenggara pemilu.
Fenomena ini menurutnya, terus menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Sebab, indikasi temuan-temuan kecurangan terus bermunculan di media sosial.
Bahkan ia menilai, masyarakat secara pro aktif terus melakukan koreksi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas penghitungan suara yang dilakukan. Mulai dari koreksi sistem informasi penghitungan suara (Situng) KPU, hingga menyuarakan berbagai masalah terhadap surat suara.
"Mungkin baru pertama kali sejarah dunia. Sebagian besar penonton harus bersusah payah mengawasi wasit agar tidak curang. Bathil banget," kata Rizal Ramli di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu beranggapan, pertandingan tidak bisa diteruskan jika wasit sebagai pengadil sudah memiliki niat buruk. "Kalau pemain curang, ada wasit. Tapi kalau wasit terus menerus berusaha curang, ya harusnya langsung diganti dan dihukum," sambungnya.
Disisi lain, ia memuji gelaran Pemilu di tahun 1999 di era Presiden BJ Habibie dan tahun 2004 di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, pemilu saat itu berjalan dengan sangat baik, fair, dan adil.
"Tapi, Pemilu 2019 paling parah dalam sejarah republik," pungkas pria yang akrab disapa RR itu.
Empat Faktor
Tak hanya RR, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) juga menyebut pemilu 2019 merupakan pesta demokrasi terparah pasca reformasi di Indonesia.
Alasannya yang pertama, dia melihat hal tersebut pada kasus yang sempat viral yang menjadikan Anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso menjadi tersangka oleh KPK yang diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total sekitar Rp8 miliar dari suatu perusahaan.
Saat petugas komisi antirasuah menemukan uang tersebut, rupanya telah dimasukkan ke dalam amplop dengan pecahan berbeda-beda Rp50 ribu atau Rp20 ribu.
"Gambarannya (pemilu terparah) pertama ada 400 ribu amplop yang disiapkan oleh Bowo Sidik terungkap oleh penegak hukum, itu gak pernah ada sepanjang sejarah penegakan hukum di Indonesia. Bahkan lawyernya Sidik bilang bukan 400 ribu amplop, tapi satu juta. Bahkan sekarang perkembangannya di sana juga ada duit dari menteri," kata Bambang di Jakarta, Kamis (24/4/2019).
Ia mengatakan, amplop yang diduga digunakan untuk serangan fajar itu terhitung sangat banyak untuk melanggengkan nama Bowo ke Senayan berdasarkan dapilnya di Jawa Tengah II. Ia mengungkap, banyak yang menilai itu bukan kebutuhan Bowo semata, namun juga untuk partai.
"Dan itu di Jawa Tengah, tahu kenapa diserang (serangan fajar, red), karena di sana perbedaan suara 2014 antara Pak Jokowi dan Prabowo itu 8 juta dan 6 juta itu disumbang oleh Jawa Tengah," ujarnya.
Yang kedua, lanjut BW, masalah yang mencatut nama Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan terkait kasus tempel amplop putih kepada Kiai Zubair Muntasir saat berkunjung ke Pesantren Nurul Cholil Bangkalan, Madura.
Pada videonya yang viral itu, kata BW, Luhut juga sempat meminta kepada sang kiai untuk menyampaikan kepada santri dan sang kiai untuk datang ke TPS pada 17 April. Namun yang dipertanyakan oleh Bambang, mengapa ada imbauan dari Luhut untuk memutihkan TPS.
"Jadi bukan yang dibagi amplop ke pesantrennya yang masalah, tapi yang dia (Luhut, red) sebut ke TPS baju putih. Itu tafsirnya jadi dua, coblos baju putih atau dateng ke tempat pakai baju putih-putih. Dan saya menduga hal-hal seperti ini tidak dilakukan satu kali," ujarnya.
Sementara yang ketiga, lanjut BW, masalah surat suara yang tercoblos di Malaysia untuk salah satu paslon dan partai dengan caleg tertentunya yang hingga kini masih tanda tanya.
Sedangkan yang keempat, dia mengaku menemui langsung kesalahan di lapangan, berupa keterlambatan distribusi logistik pemilu dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara TPS tidak diumumkan dengan cara ditempelkan di tempat umum oleh KPPS.
"Dan kalau itu tidak diumumkan (KPPS) itu ada pidananya, berdasar Pasal 391 jo 508 UU 7 tahun 2017, dan itu masif terjadi. Ini belom yang macam-macam (masalah lain) kalau pakai data Bawaslu, mulai dari Minggu tenang, politik uang, kemudian saya menyimpulkan pemilu ini yang paling terburuk setelah reformasi," ungkapnya. (Konfrontasi)